Jakarta -
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menekankan manajemen konflik berbasis sekolah harus mampu diwujudkan sebagai bagian upaya menekan angka kasus kekerasan yang terjadi di institusi pendidikan dan mewujudkan lingkungan belajar yang aman bagi generasi penerus bangsa.
Hal tersebut ia sampaikan saat menjadi pembicara di gelaran Youth Dialogue Studio: Inspiring Real-World Applications of Change through Theory U yang diselenggarakan United in Diversity (UID) secara daring, Sabtu (7/12).
"Perlu ada upaya yang segera untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) pendidikan agar mampu mengelola dan menangani konflik yang terjadi di sekolah," papar Lestari dalam keteranganmua, Minggu (8/12/2024) .
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data dari Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI), sepanjang Januari hingga September 2024 terdapat 36 kasus kekerasan di satuan pendidikan dengan total korban mencapai 144 peserta didik. Sementara itu, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat angka yang lebih tinggi, yakni 293 kasus kekerasan di sekolah dengan kekerasan seksual sebagai jenis yang paling banyak dilaporkan.
Lestari, atau yang sering disapa dengan Rerie berpendapat bahwa berbagai konflik yang terjadi di sekolah harus segera diatasi dengan membangun manajemen konflik yang dikelola oleh para SDM pendidik. Tujuannya, agar tidak ada lagi generasi penerus bangsa yang menjadi korban kekerasan sebagai dampak dari konflik yang tidak mampu diatasi di sekolah.
Dalam kesempatan yang sama, Rerie berbagi pengalaman kepada para peserta mengenai bagaimana membangun institusi pendidikan sejak 2005 di lingkungan yang rawan konflik pasca tsunami dan berakhirnya perpecahan antar kelompok di Aceh.
Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu berpendapat pemanfaatan Teori U sangat powerful dalam membangun dan mengelola sistem komunikasi di tengah beragam potensi konflik yang ada saat membangun sekolah.
Rerie memaparkan dengan menerapkan tahapan Teori U (co-initiating, co-sensing, presencing, co-creating, dan co-evolving) dalam membangun dan mengelola sekolah, para pengelola sekolah Sukma Bangsa di Aceh mampu membuat sekolah tersebut menjadi sekolah yang mampu melahirkan lulusan yang berprestasi hingga tingkat internasional dari yang awalnya hanya sekolah rawan konflik
Menurut Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, SDM pendidik harus dibekali kemampuan untuk mengelola konflik di lingkungan sekolah sehingga konflik bisa diselesaikan tanpa menimbulkan kerusakan. Rerie berharap dengan rendahnya potensi konflik yang terjadi di sekolah, proses belajar dan mengajar dapat berjalan dengan aman dan menyenangkan bagi para peserta didik. Dengan begitu, sistem pendidikan nasional mampu melahirkan generasi penerus bangsa yang berdaya saing di masa depan.
(akd/ega)