Muncul wacana penerapan libur sekolah sebulan selama Ramadan. Wacana libur sekolah sebulan selama Ramadan ini pun menuai pro dan kontra.
Adapun Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar sudah bicara soal wacana sekolah libur sebulan selama Ramadan ini. Nasaruddin mengatakan pondok pesantren sudah menerapkan libur selama Ramadan, tapi untuk sekolah-sekolah negeri maupun swasta masih menunggu pengumuman.
"Ya, sebetulnya sudah warga Kementerian Agama, khususnya di pondok pesantren, itu libur. Tetapi sekolah-sekolah yang lain juga masih sedang kita wacanakan, tetapi ya nanti tunggulah penyampaian-penyampaian," kata Nasaruddin kepada wartawan, di Monas, Senin (31/12/2024) malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menerangkan yang terpenting selama Ramadan adalah kualitas ibadahnya, bukan soal sekolah diliburkan atau tidak. Dia menekankan lagi, wacana libur sebulan di sekolah masih menunggu perkembangan.
"Yang jelas bahwa libur atau tidak libur, sama-sama kita berharap berkualitas ibadahnya. Bagi saya, itu yang paling penting. Ramadan itu adalah konsentrasi bagi umat Islam," ujarnya.
Nasaruddin berharap Ramadan mendatang bisa lebih berkualitas bagi anak-anak. Dia ingin siswa bisa mengamalkan amalan-amalan sosial agama Islam, bukan sekadar teori di sekolah.
"Kami berharap mudah-mudahan Ramadan kali ini bisa lebih berkualitas. Kualitasnya itu ada anak-anak kita bisa lebih berkonsentrasi, mengaji, menghafal Qur'an, mengamalkan amalan-amalan sosial agama Islam, tidak hanya teori ya di sekolah, tapi juga ada pengamalan, kita kan beribadah puasa, mungkin juga ada berkumpul bersama keluarganya, mungkin juga akan ada yang mengamalkan amalan-amalan sosial di bulan Ramadan, kan pahalanya banyak ya," katanya.
Lantas, bagaimana tanggapan DPR hingga masyarakat terkait wacana ini? Baca halaman selanjutnya.
DPR Minta Wacana Libur Sebulan Selama Ramadan Dikaji Matang
Foto: Ilustrasi gedung DPR (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Wacana ini pun menuai beragam tanggapan. Salah satunya tanggapan dari Anggota Komisi VIII DPR F-PDIP Selly Andriyani Gantina. Dia meminta agar dilakukan kajian yang matang agar tidak mengurangi kualitas pendidikan.
"Pentingnya memastikan bahwa kebijakan ini tidak mengurangi kualitas pendidikan. Pendidikan agama maupun umum di madrasah dan pondok pesantren harus tetap terjamin. Ramadan memang menjadi momen penting untuk memperkuat nilai-nilai spiritual, tetapi kita juga harus memastikan bahwa pembelajaran tetap berjalan dengan efektif, baik secara formal maupun non-formal. Jika libur panjang diterapkan, perlu ada skema untuk mengganti waktu belajar yang hilang agar tidak ada kurikulum yang tertinggal," kata Selly kepada wartawan, Selasa (31/12/2024).
Selly mengatakan pendekatan berbeda untuk pesantren dan madrasah perlu dipertimbangkan. Dia menilai pesantren biasanya memiliki sistem pembelajaran yang lebih fleksibel, sebab berfokus pada pendidikan agama secara intensif, sehingga libur sebulan bisa dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan di luar kelas formal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namun, untuk madrasah yang mengikuti kurikulum nasional, ada keterbatasan dalam mengatur kalender akademik, terutama jika libur ini berdampak pada jadwal ujian atau penyelesaian materi," kata Selly.
Selain itu, Selly meminta agar libur selama satu bulan agar diimbangi dengan kegiatan produktif. Salah satunya dia mengusulkan adanya pesantren kilat.
"Pemerintah bisa mendorong program-program seperti pesantren kilat, bimbingan keagamaan, atau kegiatan sosial selama Ramadan untuk memastikan siswa tetap mendapatkan pembelajaran yang bermakna. Artinya, bukan libur selama Ramadan, tapi menggeser pendidikan dari instansi formal--sekolah-pesantren ke lingkungan rumah, dan keluarga, rumah-baperkam-balai desa. Tinggal bagaimana negara mengontrol kualitas pendidikan tetap terjaga. Karena saya sadari, sebagaimana mengutip Ki Hajar Dewantara, setiap manusia adalah guru, dan setiap tempat adalah sekolah," ucap dia.
Selly mendukung kebijakan ini jika diterapkan dengan matang. Dia meminta pemerintah berdialog dengan lembaga pendidikan dan masyarakat sebelum memutuskan kebijakan ini.
"Saya mendukung kebijakan ini jika diterapkan dengan perencanaan yang matang, melibatkan dialog antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat, serta memastikan tidak ada pihak yang dirugikan. Kita harus memastikan bahwa semangat Ramadan bisa berjalan beriringan dengan kualitas pendidikan yang tetap terjaga," ucapnya.
Sementara itu, Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian meminta agar aturan itu dirancang secara inklusif sebelum diterapkan.
"Wacana meliburkan anak sekolah selama satu bulan saat bulan puasa memiliki potensi dampak positif dan negatif yang perlu dipertimbangkan secara matang," kata Hetifah kepada wartawan, Selasa (31/12).
Hetifah memaparkan dampak positif jika keputusan ini diterapkan. Dia menyebut libur selama sebulan Ramadan itu memberikan ruang bagi siswa muslim untuk fokus menjalankan ibadah puasa dan aktivitas agama tanpa terganggu aktivitas sekolah.
"Mereka juga bisa memanfaatkan waktu untuk belajar agama lebih mendalam, mengikuti kegiatan sosial keagamaan di komunitas, atau mempererat hubungan keluarga," tutur dia.
Hetifah menilai, libur panjang selama sebulan ini tentu akan berdampak pada kalender pendidikan. Sehingga, kata dia, perlu dipertimbangkan mengenai hal ini.
"Di sisi lain, libur panjang dapat mengganggu kalender pendidikan, terutama dalam menyelesaikan kurikulum yang telah ditetapkan. Jika tidak ada solusi kompensasi yang tepat, seperti perpanjangan jam pelajaran atau tahun ajaran, siswa mungkin akan kesulitan mengejar ketertinggalan," tutur dia.
Lebih lanjut, Hetifah menilai kebijakan libur penuh saat Ramadan ini cenderung lebih relevan untuk siswa muslim. Sebab, kata dia, bulan Ramadan memiliki nilai religius dan spiritual yang signifikan bagi mereka.
"Namun, siswa non-Muslim mungkin tidak merasakan manfaat langsung, sehingga perlu dipertimbangkan dampaknya terhadap mereka, agar inklusifitas dan kesetaraan dalam sistem pendidikan tetap terjaga. Bagi siswa non-Muslim, libur penuh selama Ramadan bisa menjadi waktu kosong yang tidak produktif, terutama jika mereka tidak memiliki kegiatan alternatif yang dirancang khusus," jelas dia.
Tanggapan Orang Tua Murid
Foto: Wardito dan istrinya (Adrial/detikcom)
Wacana ini pun sudah sampai di masyarakat. Warga bernama Ahmad mengaku setuju saja jika anaknya libur selama Ramadan.
"Ya saya setuju-setuju aja ya, anak-anak jadi bisa libur lama ya. Waktunya bisa dimanfaatkan buat yang lain mungkin ya," kata Ahmad di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Rabu (1/1/2025).
Ahmad mengatakan anaknya duduk di bangku SMP. Dia berharap libur sebulan selama Ramadan bisa membuat anaknya punya lebih banyak waktu bersama keluarga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya mungkin waktu sama keluarganya bisa lebih banyak. Atau mungkin hal positif lain," kata dia.
Warga Tangerang, Wardito, juga setuju dengan wacana tersebut. Salah satunya karena libur sebulan bisa menghemat uang jajan anaknya yang saat ini duduk di bangku SMP.
"Ya setuju setuju aja ya. Iya itu juga bisa (menghemat uang jajan)," ucapnya.
Meski demikian, dia berharap ada kegiatan lain yang disiapkan jika anak-anak libur sebulan selama Ramadan.
"Ya boleh aja libur sebulan, asalkan mungkin ada pengganti kegiatan lain yang positif ya," kata dia.
Namun, ada juga warga yang berpandangan berbeda. Salah satunya adalah Mumun (42). Ia tidak setuju karena takut anaknya tidak ada kegiatan nantinya. Ditakutkan nantinya sang anak hanya akan tidur di rumah.
"Nggak (setuju) sih. Ya kalau di rumah mah tidur, gitu anaknya nggak ada kegiatan ya kan, malah enakan pulang sekolah, kalau pulang sekolah tidur gitu kan, gitu sebenernya si," kata Mumun ditemui di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Selasa (1/1/2025).
MUI Minta Libur Sekolah Sebulan Selama Ramadan Dikaji
Foto: Ketua MUI Cholil Nafis (Agung Pambudhy)
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis, mengatakan wacana libur sekolah selama sebulan di saat Ramadan perlu dikaji lebih mendalam. Ia menyebut ada baiknya sekolah tetap berlangsung mempertimbangkan pembelajaran dan tak semua murid di sekolah umum beragama Islam.
"Mungkin bisa untuk pesantren (libur sebulan saat Ramadan) karena kurikulum dan masa belajarnya mungkin berbeda. Kalau sebagian pesantren sudah melaksanakan libur panjang bahkan seminggu sebelum Ramadan dan masuk seminggu setelah Ramadan. Hampir ya, 45 hari malah liburnya," kata Cholil kepada wartawan, Rabu (1/12).
Namun, ia menilai sekolah umum perlu menyesuaikan dengan kurikulum. Cholil menilai bukan permasalahan libur atau tidak yang diributkan, melainkan soal produktivitas siswa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi kalau untuk umum saya pikir perlu menyesuaikan dengan kurikulum, ya kurikulumnya, di samping juga yang kedua tidak semuanya muslim. Tapi menurut saya itu tergantung kajian mana yang lebih bermanfaat tetapi bukan liburnya, tetapi soal produktivitasnya," ungkapnya.
Ia menilai ada baiknya siswa tetap melakukan pembelajaran di sekolah. Pendidik juga bisa menyertakan sejumlah aktivitas untuk penguatan pendidikan karakter hingga spiritual selama masa Ramadan.
"Alangkah baiknya Ramadan tetap di dalam sekolah, tetapi kurikulum sekolah itu atau pengajarannya di sekolah itu lebih diperbanyak pendidikan karakter, penguatan spiritualnya. Nah sekarang kan banyak agama hanya pengajarannya, bukan pendidikannya," tutur Cholil.
"Pembentukan karakter aspek keagamaan, mungkin itu penting sehingga pada saat Ramadan bagi yang muslim banyak kegiatan-kegiatan yang mengaitkan insert pengajaran dalam pendidikan agama, pendidikan agama yang masuk pada pengajaran itu," sambungnya.
Cholil berpandangan, jika berpuasa sambil belajar dilakukan, siswa akan terbiasa. Kendati demikian, jika hal tersebut mengurangi produktivitas, perlu dipertimbangkan kembali.
"Karena sebenarnya orang berpuasa dengan belajar itu kalau dibiasakan, tidak mengganggu. Tapi kalau dimaklumi karena lapar dan seterusnya maka menjadi tidak produktif oleh Nabi Muhammad SAW ya pendidikan itu pada saat puasa tidak terganggu, bahkan ada peperangan di saat bulan puasa," imbuhnya.
(rdp/rdp)