Jakarta -
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Arsul Sani, merespons permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) mengenai keterwakilan perempuan di DPR RI. Arsul mengaku tergelitik lantaran seringkali DPR RI disorot dibandingkan dengan lembaga legislatif lainnya.
Judicial review itu diajukan Koalisi Perempuan Indonesia hingga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Ada beberapa pasal di UU MD3 terkait keterwakilan perempuan di DPR yang mereka soroti.
Mulanya, Arsul menjelaskan sudut pandang lain terkait keterwakilan perempuan dari sisi mekanisme partai. Arsul sendiri sempat menjadi anggota DPR RI dan Waketum Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di sisi yang lain tentu partai, fraksi, memberikan penugasan kepemimpinan itu berdasarkan juga kapasitas, latar belakang pendidikan, pengalaman, itu. Nah kalau harus dibagi rata bahwa pokoknya yang penting setiap AKD itu harus secara proporsional ada perempuannya, bagaimana kemudian kita merespons persoalan-persoalan yang terkait dengan kapasitas itu tadi?" ujar Arsul dalam pemaparannya di sidang, gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2024).
Arsul mengatakan kondisi yang terjadi saat ini bukan berarti perempuan tak memiliki kapasitas untuk menjadi pimpinan di komisi. Ia menekankan bahwa ada alasan lain yang bukan sekadar ukuran jumlah.
"Bukan saya ingin mengatakan bahwa perempuan itu tidak punya kapasitas, tidak demikian. Tapi dalam konteks the right person in the right place gitu, dalam konteks itu ya," ujarnya.
Ia mencontohkan salah satu alat kelengkapan dewan (AKD) di DPR RI, yakni BKSAP yang selalu tugas silih berganti ke luar negeri. Arsul menyinggung peran perempuan jika sudah berkeluarga jika ditempatkan pada AKD itu.
"Belum kemudian ada problem-problem sosial, katakanlah kita bicara BKSAP yang itu kerjanya ya keliling, ke luar negeri terus anggota BKSAP itu. Makanya saya 10 tahun (di DPR RI) tidak mau di BKSAP itu," ujar Arsul.
"Kenapa? Karena itu hanya sering tukar koper di bandara, turun dari pesawat, kopernya diantari kemudian pergi lagi entah ke mana itu, seperti itu. Nah kalau seperti ini ditugaskan kepada perempuan dan dia berkeluarga apa tidak jadi masalah lagi juga?" tambahnya.
Ia menyebut pertimbangan semacam itu mestinya disampaikan juga dalam permohonan Koalisi Perempuan dan Perludem. Arsul menyinggung keterwakilan perempuan di DPR bukan hanya persoalan kuantitas.
"Karena itu sebaiknya juga di-address dalam permohonan juga. Jadi tidak hanya aspek kuantifikasinya saja, meskipun itu proporsional karena ada aspek-aspek itu," ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Arsul mengaku tergelitik dengan permohonan itu. Ia heran mengapa hanya DPR tetapi lembaga seperti MPR hingga DPD tak disoroti juga.
"Mohon izin satu lagi, saya ingin tergelitik juga kenapa sih selalu kok selalu DPR? DPD kok nggak, gitu lho? MPR kok nggak? Gitu lho," tanyanya.
"Termasuk MK, tidak diperjuangkan juga nih sama Bu Titi (Perludem) yang MK?" timpal hakim lain Enny Nurbaningsih.
Di kesempatan yang sama, Hakim Ketua Panel 1, Saldi Isra, juga menyoroti hal serupa. Permohonan yang disampaikan Koalisi Perempuan dan Perludem seperti mengabaikan lembaga DPD hingga MPR.
"Yang terakhir, benar saya sudah mencatat juga. Ini kan seperti mengabaikan DPD, mengabaikan MPR juga, sama-sama lembaga negara kan? Sama-sama lembaga perwakilan? Kenapa hanya fokus di sini saja," ujar Saldi.
"Nah memang saya menyadari, kami menyadari, kalau pertanyaan itu dimunculkan itu akan menambah jumlah norma yang akan diuji. Tambah pusing kami nanti di Mahkamah Konstitusi ini," kelakarnya.
(dwr/jbr)