Jakarta -
Membawa oleh-oleh dari Jepang tak melulu soal kuliner. Pengalaman membuat seni stempel Ukiyo-e di Museum Nasional Tokyo bisa menjadi cara menarik untuk mengabadikan kenangan perjalanan di Negeri Matahari Terbit, menjadikannya lebih dari sekadar suvenir biasa.
detikcom berkunjung ke Museum Nasional Tokyo dalam rangka kegiatan Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youth (Jenesys), program pertukaran budaya yang berlangsung dari 28 Januari hingga 4 Februari 2025. Kunjungan ke museum ini merupakan bagian dari agenda hari kedua sebelum peserta bertolak menuju Kota Takikawa, Hokkaido, untuk mendalami kehidupan dan budaya masyarakat setempat.
Sebelum berkeliling di Museum Nasional Tokyo, para peserta Jenesys mendapatkan pengarahan singkat dari pengelola mengenai galeri yang dipamerkan. Museum yang didirikan pada 1872 ini memiliki sejarah panjang sebagai rumah bagi seni dan artefak dari seluruh Asia dan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah itu, peserta Jenesys diajak berkeliling ke Japanese Gallery atau Honkan, yang didesain oleh arsitek Watanabe Jin dengan gaya khas arsitektur Timur yang dikenal sebagai The Imperial Crown Style. Titik pertama yang kami kunjungi adalah museum Samurai, di mana para peserta Jenesys dapat melihat lebih dekat artefak kuno baju zirah dan senjata Samurai sebagai golongan ksatria yang memerintah Jepang selama hampir 700 tahun.
Selama masa pemerintahan itu, Samurai meniru budaya bangsawan kekaisaran, namun juga mengadopsi praktik rakyat biasa. Selain itu, Samurai menyembah dewa-dewa Shinto dan Buddha, yang kemudian mencerminkan pemahaman terhadap sejarah mereka.
Senjata dan perlengkapan perang yang digunakan Samurai ini terus berkembang seiring waktu, namun tetap menonjolkan simbol otoritas dan kekuasaan mereka sebagai kelas ksatria di Jepang. Banyak informasi tentang bagaimana Samurai mewariskan peralatan senjatanya: ada yang mewariskannya kepada keluarga sebagai pusaka, ada juga yang menukarkannya sebagai hadiah diplomatik. Beberapa Samurai bahkan menyumbangkan senjata dan peralatan militer mereka ke kuil Buddha dan tempat-tempat suci Shinto sebagai bentuk pengabdian doa untuk kemenangan di medan perang.
Di Museum Nasional Tokyo, galeri Samurai ini berfokus menampilkan pedang, baju zirah atau Gusoku (pelindung tubuh samurai), serta peralatan perang lainnya. Peralatan ini bervariasi dalam bahan, warna, dan teknik pembuatannya, serta sering kali menjadi simbol martabat keluarga Samurai dan menunjukkan status sosial mereka.
Salah satu yang ditampilkan di museum adalah baju zirah yang dimiliki oleh Matsudaira Lenori (1575-1614), seorang samurai yang memerintah di bagian tengah Jepang pada abad ke-16. Desain baju zirah ini menggambarkan siklus abadi alam semesta. Bagian dada menampilkan simbol matahari terbit, sementara helmnya memiliki cincin emas yang melambangkan bulan. Para Samurai mengaitkan simbol-simbol ini dengan siklus kematian dan kelahiran kembali.
Setelah itu, peserta Jenesys melanjutkan ke Museum Kimono di lantai 2. Salah satu tipe kimono yang dijelaskan adalah Uchikake, kimono yang dikenakan dalam acara-acara formal seperti pernikahan. Desain kimono Uchikake ini sarat dengan makna, seperti buah jeruk tachibana yang melambangkan usia abadi dan pembatas sutra yang merepresentasikan budaya istana yang elegan. Elemen-elemen ini menjadikan Uchikake sebagai salah satu kimono favorit pada masanya.
Takenouchi Katsunori, supervisor di Museum Nasional Tokyo, menjelaskan bahwa kimono di museum tersebut masih utuh dan terlestarikan karena jarang dipakai dan hanya digunakan dalam acara-acara tertentu oleh kalangan bangsawan kelas atas.
Salah satu pameran di Museum Nasional Tokyo Foto: (Kanavino/deikcom)
Seni Ukiyo-e
Selanjutnya, para peserta Jenesys menjajal langsung seni stempel Ukiyo-e. Pengalaman membuat stempel ini menjadi kesan yang menarik bagi para peserta, terutama yang berasal dari rombongan media massa Indonesia. Selain bisa berfoto, perwakilan media juga berkesempatan mengabadikan momen tersebut lewat video. Untuk diketahui, pengunjung memang tidak diperbolehkan mengambil video selama kunjungan di museum.
Cetakan dan lukisan Ukiyo-e merupakan genre pertama seni yang dinikmati oleh masyarakat umum dalam skala besar. Perkembangan Ukiyo-e didorong oleh pertumbuhan ekonomi pada abad ke-17, yang memungkinkan lebih banyak orang menikmati seni ini. Seiring dengan standar hidup yang berkembang, masyarakat mengembangkan budaya urban yang penuh gairah terhadap tren, fesyen, dan hiburan, yang tercermin dalam seni Ukiyo-e.
Pada mulanya, Ukiyo-e menggambarkan selebritas pada masanya, terutama aktor kabuki dan orang-orang di rumah bordil legal. Namun, seiring waktu, tema Ukiyo-e berkembang mencakup festival musiman, tempat wisata, dan pemandangan alam.
Selain itu, teknik pembuatan Ukiyo-e juga berubah seiring waktu. Awalnya dibuat secara manual lewat lukisan, kemudian berkembang dengan menggunakan balok kayu. Seiring berkembangnya teknik ukir dan cetak, Ukiyo-e dengan warna cerah pun menjadi mungkin untuk dibuat.
Para peserta Jenesys kali ini membuat cetakan Ukiyo-e menggunakan lima stempel. Pertama, kami mengambil kertas karton yang ada di sebelah kiri meja dan masukkan ke dalam bingkai putih yang tersedia. Selanjutnya, kami menyejajarkan tanda merah pada perangko dengan tanda pada bingkai putih. Pindah ke perangko berikutnya, dan ulangi langkah ini hingga stempel kelima. Setelah itu, cetakan Ukiyo-e pun selesai.
detikcom bersama perwakilan media lainnya mendapatkan kesempatan untuk melakukan hal ini secara langsung dan mendokumentasikan prosesnya. Hasil cetakan yang telah dibuat, kata pengelola, bisa dibawa pulang sebagai suvenir kenang-kenangan.
Setelah membuat cetakan Ukiyo-e, para peserta Jenesys mendapatkan kesempatan untuk melihat Asian Gallery. Di lokasi ini terdapat banyak artefak dari sejumlah negara di Asia. Asian Gallery, yang didesain oleh Taniguchi Yoshiro (1904-1979) dan dibuka pada 1968, menampilkan artefak-artefak budaya dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Yang menarik di museum ini adalah adanya artefak dari Indonesia. Berdasarkan penjelasan yang terpampang di museum, Asian Gallery menampilkan banyak artefak patung dewa Buddha dan Hindu yang dibuat di Asia Tenggara setelah Buddha dan Hindu diperkenalkan dari India.
Di antara patung-patung tersebut, banyak yang terbuat dari perunggu, termasuk dari Indonesia. Salah satu artefak yang ditampilkan adalah The Bodhisattva Avalokitesvara. Dalam penjelasan yang tertera di dekat artefak ini, disebutkan bahwa Bodhisattva adalah dewa Buddha yang berdedikasi untuk menyelamatkan semua makhluk hidup. Bodhisattva ini terlihat mengulurkan telapak tangannya dalam sebuah gestur pemberian anugerah. Selain itu, Bodhisattva juga memegang bunga teratai dan gulungan dengan tulisan suci.
Kunjungan ke Asian Gallery ini menjadi penutup yang sempurna untuk rangkaian kegiatan di Museum Nasional Tokyo. Pengalaman tak terlupakan adalah saat para peserta Jenesys membuat stempel Ukiyo-e. Selain bisa membawa suvenir yang unik sebagai kenangan di Jepang, peserta media juga bisa mengabadikannya lewat video.
(knv/zap)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu