Jakarta -
Mantan petinggi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ayik Heriansyah, menyebut bahwa organisasi terlarang itu masih eksis hingga kini. Meskipun pemerintah telah menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang karena menyebarkan paham anti-Pancasila dan anti-NKRI.
"Tidak ada (perubahan aktivitas HTI), masih sama," kata Ayik pada diskusi bertajuk 'Isu Kebangkitan Khilafah dan Peta Ancaman Radikalisme dan Terorisme' di Hotel Grandhika Iskandarsyah, Jakarta Selatan, Rabu (5/2/2025).
Alumni Universitas Indonesia (UI) itu menuturkan, segala aktivitas HTI masih ada hingga kini. Namun mereka hanya berkamuflase dalam menggaungkan ideologi ekstremnya yakni khilafah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dia nggak pake nama Hizbut Tahrir, kegiatan sama masih berjalan. Dulu terbuka, sekarang di rumah gitu, tapi aktivitas tetap jalan," ungkapnya.
Anggota Terus Bertambah, Masuk Dari Jalur Kampus
Hal senada juga disampaikan oleh Eks pengurus DPP HTI, Rida Hesti Ratnasari. Dia menyebut organisasi terlarang tersebut masih eksis, bahkan anggotanya terus bertambah.
"Pertanyaan sangat baik, apakah bertambah atau berkurang? bertambah, exactly pasti bertambah," ucapnya.
Rida yang kini menjadi Peneliti Aliran Agama Islam Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu mengatakan dalam perekrutan, ada banyak cara yang dilakukan oleh HTI. Salah satunya yakni dari perguruan tinggi atau kampus.
Eks pengurus DPP HTI, Rida Hesti Ratnasari. Foto: Ondang/detikcom.
Mereka menargetkan para mahasiswa baru di sejumlah universitas ternama. Pernyataan itu bukan tanpa alasan, namun dari pengalamannya ketika pertama kali bergabung dengan organisasi terlarang tersebut di Institut Pertanian Bogor (IPB).
"Di mana kami mahasiswa baru dibina di BKIM itu, Rohis yang resmi. Bayangkan dari daerah Banyuwangi itu ya, PMDK, mendengarkan Islam yang belum pernah saya dengar, sekomprehensif itu membahas semua masalah kehidupan, jadilah wow gitu. Itu tahun 1991," ujarnya.
"Untuk agent of change yang nanti akan diproses menjadi ideologi, itu memang paling besar di kampus. Tetapi untuk yang ikut karena pragmatis, ikut karena simpati, itu dari masyarakat umum banyak," tambah Rida.
Selain itu, Rida mengatakan HTI juga masuk mencari orang yang dijadikan target melalui komunitas-komunitas yang tidak terlalu terlihat identitas keagamaannya. Mereka berkamuflase menggunakan nama umum.
"Nama-nama yang sangat soft, contohnya Perkumpulan Istri Strong, Kemudian, Muslimah Cinta Kota Ini, Kota Itu yang bagi masyarakat itu menjanjikan suatu perjuangan yang menyenangkan. Itu bisa menarik. Nah, kalau ikut itu bisa strong kita-kita," bebernya.
Tujuannya, sebut Rida, yakni agar HTI yang berambisi membangun pemerintahan khilafah itu bisa berkuasa dan tidak memperbolehkan adanya demokrasi sebagai tatanan politiknya.
"Demokrasi tidak boleh ada di dalam pemerintahan khilafah islamiyah yang didirikannya suatu saat, yang diperjuangkannya," sebut dia.
"Karena (demokrasi) bertentangan dengan sistem pemerintahan khilafah, itu konsisten," lanjut Rida.
Untuk itu, Rida meminta agar pemerintah bisa lebih tegas dalam menindak organisasi terlarang tersebut hingga ke akar-akarnya. Hal itu sekaligus menjaga keutuhan bangsa.
"Implementasinya (pemerintah kurang tegas) ya, implementasinya. Kemudian tentu, political will yang (untuk) konsistensi itu melindungi negara ini," jelasnya.
Dorong Pemerintah Indonesia Perketat Regulasi
Rida juga mendorong pemerintah untuk memperkuat regulasi yang ada. Pasalnya, ideologi ekstrem yang gencar disebarkan HTI masih masif berkembang di masyarakat.
"Kekosongan regulasi ini jelas segera harus diisi ya. Misalnya, perjuangan politik di luar parlemen harus diatur batas-batasnya," kata Rida.
Termasuk mendorong agar batas-batas memanfaatkan demokrasi ini harus diperjelas. Sebab, anggota organisasi terlarang itu memang sengaja 'menggunakan' demokrasi untuk meruntuhkan demokrasi itu sendiri.
"Apakah boleh demokrasi ini dimanfaatkan untuk memperjuangkan sistem yang meruntuhkan demokrasi? Nah itu juga perlu diatur ya," terangnya.
Pemerintah juga diharapkan untuk menyiapkan mekanisme dan sistem untuk pencegahan dini. Mulai dari mengenali ciri-ciri ideologi ekstrem yang ada di masyarakat.
"Kemudian di level praktis, pemerintah juga harus memberdayakan masyarakat untuk early warning system," sambung dia.
Dia mencontohkan, adanya gelaran pengajian di suatu daerah yang diikuti oleh sejumlah jemaah, di mana para jemaah justru diajarkan membaca sebuah kitab menggunakan huruf Arab gundul.
Ternyata, ketika kitab ini dibaca, yang dibahas justru soal struktur negara, bukan ajaran agama. Ketidaktahuan ini yang menurutnya penting untuk dicegah oleh pemerintah.
"Bayangkan, ngajinya saja struktur negara. Tapi, siapa yang aware, tak satupun jemaah yang datang ke masjid itu mengerti bahwa itu kitab yang akan menggulingkan NKRI," jelasnya.
"Jadi, awareness di semua level sampai RT/RW itu penting ya dan kolaborasi dengan berbagai pihak," imbuhnya.
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu