Jakarta -
Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan, mengkritik vonis hukuman Harvey Moeis di kasus korupsi komoditas timah hanya dikenakan 6,5 tahun. Ia bertanya-tanya kerugian negara sebesar Rp 300 triliun yang tak sebanding dengan hukuman pelaku koruptor.
"Putusan ini adalah kabar buruk bagi keadilan. Bagaimana mungkin kerugian negara sebesar Rp 300 triliun hanya dihargai dengan hukuman 6,5 tahun penjara?" kata Hinca kepada wartawan, Rabu (25/12/2024).
Hinca menyebut korupsi yang dilakukan Harvey Moeis dan kawan-kawan merupakan kejahatan yang paling berdampak terhadap alam Indonesia. Ia menyebut apa yang telah diperbuat Harvey dan pelaku lainnya merusak masa depan generasi muda RI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Timah Bangka Belitung, yang seharusnya menjadi berkah bagi daerah, justru menjadi kutukan. Korupsi ini bukan sekadar mencuri uang, ini mencuri masa depan," katanya.
Hinca menyebut tak masuk akal hukuman yang diberikan ke Harvey hanya 6,5 tahun. Ia mengatakan tuntunan jaksa sebanyak 12 tahun saja sudah ringan bagi koruptor sekaligus perusak alam tersebut.
"Lingkungan di Babel hancur, tambang ilegal merajalela, dan rakyat hidup dengan warisan kerusakan. Lalu, hukuman hanya 6,5 tahun? Hilang sudah akal sehat," kata Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat ini.
"Saya bahkan merasa tuntutan jaksa yang 12 tahun saja sudah terasa ringan. Tapi hakim menilai jauh lebih rendah lagi. Apa ini? Diskon akhir tahun untuk para koruptor," sambungnya.
Ia menilai putusan itu menggambarkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Ia mempertanyakan bagaimana bisa korupsi berdampak besar bagi alam RI mendapat hukuman yang lebih murah dari tersangka pencurian motor.
"Kasus ini menunjukkan betapa lemahnya pondasi keadilan kita. Ketika pelaku korupsi skala besar hanya mendapat hukuman ringan, apa pesan yang kita kirimkan kepada masyarakat? Bahwa korupsi adalah kejahatan yang 'aman'? Bahwa mencuri sumber daya negara jauh lebih murah risikonya dibandingkan mencuri motor di jalanan? Ini adalah preseden yang mengerikan," kata Hinca.
"Korupsi dalam sektor SDA bukan sekadar kejahatan finansial, tapi juga moral. Timah di Babel adalah simbol luka besar kita: hancurnya lingkungan, tergadainya kekayaan negeri, dan hilangnya harapan rakyat," tambahnya.
Hinca mendesak jaksa dalam perkara ini untuk mengajukan banding. Ia menyebut keadilan yang tidak ditegakkan hanya membuat mentalitas korupsi semakin merajalela di semua tingkatan.
"Dalam buku saya, #SaveBabel, saya telah memaparkan bagaimana Babel menjadi korban kerakusan dan kejahatan terstruktur. Praktik buruk ini tidak hanya menghancurkan lingkungan, tapi juga menanamkan mentalitas korupsi di setiap level," ujar Hinca.
"Jika kasus sebesar ini saja dihukum ringan, apa yang bisa kita harapkan untuk kasus-kasus lain? Ingatlah, timah yang dijarah mungkin bisa kembali, tapi rasa malu, rasa marah, sudah terlalu lama terkubur di lubang tambang," imbuhnya.
(dwr/isa)