3 Terdakwa Kasus Korupsi APD COVID Didakwa Rugikan Negara Rp 319 M

1 day ago 6

Jakarta -

Tiga terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI didakwa merugikan negara Rp 319 miliar. Jaksa mengatakan para terdakwa melakukan negosiasi APD tanpa surat pesanan hingga menerima pinjaman dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Sidang dakwaan digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (4/2/2025). Tiga terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan pada Kemenkes Budi Sylvana, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (PT EKI) Satrio Wibowo, dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PT PPM) Ahmad Taufik.

"Yang melakukan atau turut serta melakukan perbuatan, secara melawan hukum, yaitu melakukan negosiasi harga APD sejumlah 170 ribu set seluruhnya tanpa menggunakan surat pesanan, melakukan negosiasi harga dan menandatangani surat pesanan APD sebanyak 5 juta set, menerima pinjaman uang dari BNPB kepada PT PPM dan PT EKI sebesar Rp 10 miliar untuk membayarkan 170 ribu set APD tanpa ada surat pesanan dan dokumen pendukung pembayaran, serta menerima pembayaran terhadap 1.010.000 set APD merek BOH0 sebesar Rp 711.284.704.680 (Rp 711 miliar) untuk PT PPM dan PT EKI," kata jaksa saat membacakan surat dakwaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jaksa mengatakan PT EKI tidak memiliki izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK). Selain itu, PT EKI dan PT PPM juga tidak menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga ke Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada kesepakatan negosiasi APD.

Jaksa mengatakan Satrio menerima Rp 59,9 miliar dan Ahmad menerima Rp 224,1 miliar dalam kasus ini. Kerugian keuangan negara disebut mencapai Rp 319 miliar.

"Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu telah memperkaya diri terdakwa (Satrio Wibowo) sebesar Rp 59.980.000.000, Ahmad Taufik sebesar Rp 224.186.961.098, PT Yoon Shin Jaya sebesar Rp 25.252.658.775 dan PT GA Indonesia sebesar Rp 14.617.331.956 yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 319.691.374.183 berdasarkan Laporan Hasil Audit BPKP tentang Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Kementerian Kesehatan RI menggunakan Dana Siap Pakai pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (DSP BNPB) Tahun 2020 Nomor PE.03.03/SR/SP-680/D5/02/2024 tanggal 8 Juli 2024," ujar jaksa.

Konstruksi Perkara

Jaksa mengatakan kasus ini bermula pada 20 Januari 2020. Jaksa menyebut Kepala BNPB saat itu Doni Monardo (almarhum) mengeluarkan keputusan nomor 9.A Tahun 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia. Penetapan status itu terhitung sejak 28 Januari-28 Februari 2020 dan membebankan segala biaya yang dikeluarkan sebagai akibat penetapan status keadaan darurat itu pada Dana Siap Pakai (DSP) yang ada di BNPB.

Pada 21 Februari 2020, Menteri Kesehatan saat itu Terawan Agus Putranto mengirimkan surat keputusan ke Doni yang pada pokoknya mohon dukungan berupa pembiayaan, peralatan, dan logistik yang digunakan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19. Sekretaris Utama (Sestama) BNPB dan Kuasa Pemegang Anggaran (KPA) Harmensyah menyarankan agar pendanaan DSP diserahkan ke PPK yang ditunjuk oleh Kemenkes.

Pada 29 Februari 2020, Kepala BNPB mengeluarkan keputusan Nomor 13.A Tahun 2020 tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona selama 91 hari, terhitung dari 29 Februari-29 Mei 2020. Pada 10 Maret 2020, Harmensyah menerbitkan SK Sestama BNPB Nomor 46 Tahun 2020 tentang (Eri Gunawan) PPK dan (Firda Hendra Agustino) Bendahara Pengeluaran Pembantu Dana Siap Pakai Penanganan Darurat Bencana Wabah COVID-19 di Kementerian Kesehatan Tahun Anggaran 2020.

Jaksa mengatakan pembuatan APD merek BOHO yang merupakan milik UPC Ltd Korea melalui PT Daekyung Glotech untuk tujuan ekspor ke Korea Selatan dilakukan oleh enam perusahaan yang berada di Kawasan Berikat Bogor dan Bandung. Adapun enam perusahaan itu ialah PT Daedong Internasional, PT Permata Garment, PT Pelita Harapan Abadi, PT GA Indonesia, PT Indomarra Busana Jaya dan PT Ing International.

Pada 16 Maret 2020, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menandatangani Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2020 tentang Larangan Sementara Ekspor Antiseptik, Bahan Baku Masker, Alat Pelindung Diri, dan Masker. Jaksa mengatakan Kim Je Yeol alias Tony Kim selaku Direktur Utama PT Daekyung Glotech melakukan perjanjian dengan Shin Dong Keun selaku Direktur Utama PT Yoon Shin Jaya.

Jaksa mengatakan perjanjian itu ditujukan untuk memasarkan APD merek BOHO di Indonesia, padahal PT Yoon bergerak di bidang ekspor barang dagangan seperti makanan ternak dan biomassa. Jaksa mengatakan kerja sama itu dilakukan Kim Je Yeol untuk memperoleh keuntungan dari penjualan langsung APD BOHO tanpa menggunakan nama perusahaannya yang sudah memiliki kontrak dengan Pemerintah Korea Selatan.

Pada 17 Maret 2020, BNPB mengirimkan surat ke Menteri Keuangan Sri Mulyani yang pada pokoknya mengusulkan tambahan anggaran dalam rangka penanganan penyebaran COVID-19 sebesar Rp 3.373.343.636.000 (Rp 3,3 triliun) dan disetujui oleh Kemenkeu sebesar Rp 356.113.000.000 (Rp 356 miliar) untuk program penanggulangan bencana. Pada 26 Maret 2020, Sri Mulyani menyetujui penyediaan dan realokasi anggaran untuk penanganan bencana nonalam akibat penyebaran COVID-19 sebesar Rp 2.785.31 8.771.000 (Rp 2,7 triliun).

Pada awal Maret 2020, Direktorat Jenderal Farmasi Alat Kesehatan Kemenkes memulai rencana pengadaan APD sebanyak 10.000 set yang dananya bersumber dari anggaran Kemenkes. Kemudian, Sri Lucy Novita bersama Shin Dong Keun bertemu Engko Sosialine Magdalene selaku Dirjen Farmalkes untuk menawarkan APD merek BOHO.

Namun karena PT Yoon Shin tidak memiliki IPAK dan Izin Edar, maka Kemenkes tidak dapat melakukan kerja sama langsung dengan PT Yoon. Pada 20 Maret 2020, Siti Fatimah Az Zahra selaku Komisaris PT PPM dihubungi oleh Arianti Anaya selaku Sekretaris Dirjen Farmalkes Kemenkes yang meminta agar PT PPM menjadi distributor APD merk BOHO.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

Atas informasi tersebut, Ahmad Taufik dan Siti Fatimah bertemu Shin Dong Keun dan Sri Lucy menyepakati menjadi distributor APD merek BOHO. Dalam pertemuan tersebut, Shin Dong menyampaikan harga jual APD kepada Kemenkes adalah Rp 272.000 (Rp 272 ribu) per set dan Shin Dong meminta agar PT PPM melakukan pembayaran kepada PT Yoon terlebih dahulu baru kemudian APD akan dikirimkan kepada Kemenkes.

"Ahmad Taufik menyerahkan cek senilai Rp 2.072.000.000 kepada Shin Dong Keun. Setelah itu PT PPM setuju menjadi penyalur APD merek BOHO dengan harga Rp 379.500 per set, padahal saat itu PT PPM belum mempunyai Izin Edar APD merek BOHO," ujar jaksa.

Jaksa mengatakan pada hari yang sama dibuatlah kontrak antara Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan pada Ditjen Farmalkes Kemenkes dengan PT PPM. Pada kontrak kerja sama itu, ditetapkan pengadaan 10.000 set full body isolation gown dengan harga satuan Rp 379.500.

"Sehingga total nilai kontrak adalah Rp 3.795.000.000 termasuk PPN 10% dan biaya pengiriman ke Instalasi Farmasi Kementerian Kesehatan di Jalan Percetakan Negara, Jakarta," ujar jakaa.

APD yang datang langsung didistribusikan ke masing-masing rumah
sakit. Izin edar APD merek BOHO oleh PT PPM baru diurus pada 20 Maret 2020 setelah kontrak ditandatangani.

Pada 22 Maret 2020, Kepala BNPB memerintahkan Jorry Soleman Kaloay selaku Wakil Asisten Operasi Panglima TNI untuk mengambil APD merek BOHO dari kawasan Berikat Bogor yang siap diekspor ke Korsel. Jumlah APD yang diambil yakni 170.000 set.

Shin Dong Keun dan Sri Lucy lalu menghubungi Ahmad Taufik untuk meminta pertanggungjawaban pembayaran. Namun, Ahmad mengaku tak tahu terkait pengambilan 170.000 set APD tersebut.

Jaksa mengatakan Satrio Wibowo mengaku sebagai Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan menghubungi Ahmad Taufik, lalu memintanya mengurusi pembayaran 170.000 set APD tersebut. Satrio juga menghubungi Jorry dan menginfokan sebagai pihak yang berhak menerima pembayaran tersebut.

Pada 23 Maret 2020, Ahmad Taufik datang ke kantor PPM untuk membahas pertanggungjawaban pembayaran APD tersebut. Lalu, Satrio datang dan menyatakan diri yang akan mengurus pembayaran pengambilan APD tersebut.

Satrio pun menemui Shin Dong dan Sri Lucy menyerahkan bilyet giro senilai Rp 173.400.000.000 yang akan dibayarkan pada 30 Maret 2020 sebagai jaminan pembayaran. Padahal, isi bilyet giro itu kosong.

Satrio lalu menemui Doni dan Harmensyah untuk mengurus pengambilan APD dan mengatasnamakan PT EKI pada Maret 2020. Padahal saat itu Satrio belum tercatat sebagai pengurus atau karyawan PT EKI.

Pada 24 Maret 2020, Satrio memperkenalkan diri sebagai perwakilan PT PPM dalam pertemuan bersama Budi, Harmensyah, Dwi Satrianto, Ahmad Taufik dan Siti Fatimah di Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes. Dalam pertemuan ini, Harmensyah menyampaikan kebutuhan 3.500.000 set APD dan telah distribusikan sebanyak 170.000 set dari PT PPM.

Satrio menawarkan harga set APD senilai USD 60, padahal dia tak tahu harga pokok produksi APD merek BOHO tersebut. Harga per set dari pengambilan 170.000 APD itu lalu disepakati senilai USD 50 dengan rincian berupa kacamata safety, protective cover all dan shoes cover.

Jaksa mengatakan Satrio tak memiliki uang untuk membayar 170.000 set APD itu ke Shin Dong Keun. Pada 25 Maret 2020, Satrio memberikan draf permohonan pinjaman uang dari PT PPM ke Doni Monardo selaku Kepala BNPB saat itu.

Draf itu lalu diberikan ke Ahmad Taufik dengan nilai pinjaman Rp 15 miliar. Setelah draf ditandatangani oleh Ahmad, Satrio membawanya ke BNPB.

Jaksa mengatakan PT PPM memperoleh pinjaman dari BNPB senilai Rp 10 miliar pada 27 Maret 2020. Negosiasi ulang terkait harga APD juga dilakukan antara Harmensyah dan Satrio dengan kesepakatan USD 48,4 per set berupa satu protective cover all dan satu shoes cover.

Jaksa mengatakan Satrio memerintahkan A Isdar selaku legal PT EKI membuat draf kontrak yang menyatakan PT EKI merupakan penjual resmi APD merek BOHO. Draf kontrak kerja sama PT EKI, PT PPM dan PT Yoon Shin Jaya juga dibuat backdate.

Berdasarkan data pengeluaran Ditjen Bea Cukai, jumlah APD yang telah diterima di Gudang TNI Halim Perdanakusuma sebanyak 2.140.200 set. Namun, yang sudah dibayarkan sebesar Rp 711.284.704.680 (Rp 711 miliar) untuk 1.010.000 set APD, padahal biaya asli pembayaran 2.140.200 set APD merek BOHO itu hanya Rp 391.593.330.496.

"Telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 319.691.374.183,06," ujar jaksa.

Jaksa menyakini Budi Sylvana, Satrio Wibowo dan Ahmad Taufik melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |