Jakarta -
Presiden Prabowo Subianto mengusulkan koruptor yang merugikan negara ratusan triliun divonis berat, kalau bisa sampai 50 tahun penjara. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Zaenur Rohman memberikan catatan kritis terkait pernyataan Prabowo.
Pertama, Zaenur memahami keprihatinan Prabowo terkait masifnya korupsi yang terjadi di Indonesia dan juga rendahnya vonis yang dijatuhi majelis hakim kepada koruptor. Tapi, sebaiknya Prabowo, kata Zaenur, tak sembarang berbicara.
"Ada baiknya sebagai seorang Presiden yaitu eksekutif dapat menahan diri dari membuat pernyataan yang bersifat publik mengenai putusan pengadilan," kata Zaenur lewat pesan suara kepada detikcom, Selasa (31/12/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masing-masing cabang kekuasaan, katanya, memiliki fungsi dan peran-masing-masing. Sehingga, lanjut Zaenur, Presiden juga harus menghargai putusan pengadilan sebagai produk dari yudikatif.
Diketahui, kasus yang disinggung Prabowo mengarah ke kasus korupsi dengan terdakwa Harvey Moeis. Kasus ini menyebabkan kerugian negara Rp 300 triliun, di mana salah satu terdakwanya adalah Harvey Moeis. Kemudian Harvey pun divonis 6,5 tahun penjara.
Kembali ke Zaenur, dia pun mengkritisi pernyataan Prabowo mengenai koruptor 'rampok triliunan'. Baginya kata 'rampok' kurang tepat jika ditujukan ke Harvey dan terdakwa kasus timah lainnya.
"Bahwa kasus Harvey Moeis dan kawan-kawan itu adalah kerugian perekonomian, bukan merampok negara ratusan triliun. Mungkin totalnya Rp 300 triliun, itu Rp 271 triliun di antaranya kerugian perekonomian yang berupa kerugian lingkungan, bukan artinya keuangan negara itu diambil begitu ya" sambungnya.
Sebab, nilai kerugian Rp 300 triliun itu bukan jumlah uang negara yang diambil para terdakwa melainkan kerugian lingkungan akibat adanya kasus itu. Dia menjelaskan kerugian lingkungan maksudnya berupa kerusakan alam akibat perbuatan korupsi. Apapun itu, baik kerugian ekonomi atau kerugian lingkungan, korupsi tetap lah buruk dan jahat.
Jika merujuk ke kasus korupsi timah, menurutnya, kerugian perekonomian merupakan keuntungan yang diperoleh mitra-mitra smelter PT Timah yang melanggar hukum.
"Itu kurang lebih sekitar Rp 28 triliun," ucap Zaenur.
Selanjutnya, Zaenur mengatakan vonis 50 tahun itu tetap mustahil terjadi. Pasalnya, pidana penjara paling lama adalah 20 tahun.
"Tidak bisa lebih dari itu," ujarnya.
Zaenur berharap Presiden tidak mengomentari produk dari kekuasaan yudikatif. Presiden, lanjut Zaenur, bisa memberikan arahan kepada bawahannya, misal Jaksa Agung.
"Jadi presiden punya area juga, meski harus menghormati putusan pengadilan tapi punya peluang untuk melakukan review kerja dari kejaksaan, ruangnya di sana sebagai eksekutif, apa yang diperbaiki dari penuntutan perkara ini," kata Zaenur.
Selain itu, Prabowo bisa melakukan review terhadap peraturan regulasi yang menyebabkan adanya disparitas yang cukup lebar antara tuntutan dan vonisnya. Lalu bisa juga pengaturan kerugian perekonomian dalam UU Tindak Pidana Korupsi direview Presiden dan pembantunya.
Zaenur menyebut UU Tindak Pidana Korupsi belum mengatur dengan jelas apa yang dimaksud dengan kerugian perekonomian, bagaimana menghitung kerugian, menggunakan landasan apa dalam menghitung kerugian, siapa yang menghitung kerugian, metode menghitung kerugian. Semua itu, kata Zaenur, tidak jelas.
"Juga tidak dikenal itu pengembalian kerugian perekonomian, karena yang dikembalikan itu hanya sebatas uang yang didapatkan," ucap Zaenur.
"Nah itu apakah direformulasi kemudian nanti pasal 18 UU Tipikor itu nanti diubah, orang itu bisa dijatuhi pidana uang pengganti melebihi kerugian keuangan negara," lanjutnya.
Zaenur bilang pidato-pidato Prabowo sangat kontradiktif. Ia menyinggung Prabowo yang ingin mengampuni koruptor asalkan mengembalikan uang yang dicuri. Tapi beberapa hari kemudian, Prabowo ingin koruptor dihukum berat.
"Kita belum paham maksud dari Presiden, arah pemberantasan korupsi yang akan dipimpin Presiden Prabowo ini seperti apa, akan menggunakan pendekatan seperti apa, akan membentuk kebijakan hukum seperti apa, itu serba tidak jelas," tutur Zaenur.
Internal Pemerintah, pinta Zaenur, harus solid. Tidak cepat menyampaikan pernyataan publik yang belum diuji secara serius dan sungguh-sungguh.
"Dan yang paling jelas publik tidak bisa membaca arah pemberantasan korupsi di pemerintahan Presiden Prabowo, sejauh ini baru bersifat lisan semua. Pidato, pidato, dan pidato," jelasnya.
Simak Video 'Kata Kejagung soal Prabowo Ingin Koruptor Ratusan Triliun Divonis 50 Tahun':
Selanjutnya