Jakarta, CNBC Indonesia- Di dunia yang terus bergerak cepat, plastik menjadi teman yang tak pernah tertinggalkan. Plastik digunakan untuk membungkus makanan, menyimpan obat, hingga menyelamatkan nyawa di meja operasi. Tapi begitu selesai dipakai, plastik tak sekadar lenyap. Ia bertahan. Mengendap. Menunggu ratusan tahun untuk benar-benar terurai, jika itu pun terjadi.
Menurut data Chariot Energy, hanya 9% plastik di dunia yang berhasil didaur ulang. Sisanya? Terkubur di TPA, terbakar jadi polutan, atau terombang-ambing di samudera, mengancam ekosistem yang tak pernah ikut menciptakannya.
Di puncak daftar ini, terdapat tali pancing sintetis, serat kecil yang nyaris tak terlihat namun bisa bertahan 600 tahun. Bahaya tali pancing tak hanya pada waktu tinggalnya yang lama, tetapi juga pada bentuknya yang sering melilit penyu, ikan, hingga burung laut. Tak jarang, ia masuk ke sistem pencernaan hewan laut dan berakhir mematikan.
Sedotan plastik yang tampak sepele? Butuh dua abad untuk benar-benar menghilang. Botol air mineral yang biasa kita konsumsi harian? Empat setengah abad. Dan barang paling personal seperti sikat gigi atau popok bayi yang menyentuh kehidupan kita sejak dini akan tetap berada di bumi jauh setelah kita tiada.
Meski program daur ulang terus digaungkan, plastik pada dasarnya hanya bisa didaur ulang satu atau dua kali sebelum kualitasnya menurun dan tak lagi layak pakai. Setelah itu, ia akan kembali ke siklus yang sama, ditimbun, dibakar, atau hanyut ke laut.
Artinya, meski upaya daur ulang penting, solusi jangka panjang adalah mengurangi ketergantungan pada plastik sekali pakai dan mempercepat inovasi bahan alternatif yang ramah lingkungan.
Plastik tak pernah benar-benar pergi. Ia membaur dengan pasir, menyusup ke tubuh ikan, bahkan kini ditemukan dalam darah manusia. Di Hari Bumi dan seterusnya, kita diingatkan bahwa setiap pilihan konsumsi menyisakan jejak. Dan jejak plastik adalah yang paling lama tertinggal.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)