Mantan Direktur Umum PT Pertamina (Persero) periode 2012-2014, Luhur Budi Djatmiko, didakwa merugikan negara Rp 348 miliar dalam kasus dugaan korupsi terkait pembelian lahan di Jakarta Selatan. Jaksa menguraikan kerugian negara dalam kasus ini lewat dakwaanya.
"Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu korporasi PT Bakrie Swastika Utama dan PT Superwish Perkasa sebesar Rp 348.691.016.976 yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp 348.691.016.976," ujar jaksa saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jaksa mengatakan kasus ini bermula saat Luhur mengajukan alokasi anggaran pengadaan lahan pembangunan gedung dalam revisi Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun anggaran 2013 pada November 2012. Jaksa menyebut pengajuan dilakukan tanpa kajian investasi.
"Terdakwa Luhur Budi Djatmiko bersama-sama Gathot Harsono dan Hermawan menentukan sendiri lokasi Rasuna Epicentrum sebagai lokasi pembangunan kantor baru PT Pertamina tanpa kajian," ujar jaksa.
Jaksa mengatakan Luhur bersama Gathot dan Hermawan mengarahkan PT Prodeva Dubels Synergy (PT PDS) melalui Firman Sagaf dan Nasirudin Mahmud untuk melakukan pengkajian lokasi lahan Rasuna Epicentrum secara proforma alias sekadar basa-basi. Pengkajian dilakukan dengan bobot penilaian yang tidak sesuai kondisi nyata dan dibuat backdate.
"Dengan memberikan bobot penilaian tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya serta mengarahkan agar laporan akhir (final report) yang disusun Agus Mulyana tanggal 15 Juli 2013 dibuat backdate menjadi tanggal 29 November 2012 agar seolah-olah pembelian lahan di Rasuna Epicentrum pada tanggal 12 Februari didasarkan pada laporan penilaian PT PDS," ujarnya.
Jaksa mengatakan Luhur juga mengarahkan kantor jasa penilai publik untuk menyusun laporan penilaian lahan Rasuna Epicentrum dengan kondisi seolah-olah free and clear. Rekomendasi harga dalam arahan tersebut yakni Rp 35.566.797,39 per meter persegi.
"Yang selanjutnya disetujui oleh Direksi PT Pertamina dengan harga Rp 35.000.000/meter persegi serta mengarahkan agar laporan akhir KJPP FAST dibuat seolah-olah tertanggal 7 Maret 2013 padahal laporan akhir KJPP FAST sebenarnya diterima tanggal 26 September 2013," ujarnya.
Jaksa mengatakan Luhur juga menandatangani Perjanjian Pengikat Jual Beli (PPJB) untuk lahan Lot 11A dan 19 dengan pihak PT Superwish Perkasa. Padahal, kata jaksa, lahan Lot 11A dan 19 tidak dalam kondisi free and clear.
"Terdakwa Luhur Budi Djatmiko menyetujui tagihan pembayaran lahan di luar jalan MHT yang melebihi nilai wajar tanah ke PT. Bakrie Swasakti Utama dan PTbSuperwish Perkasa sebesar Rp 1.682.035.000.000 untuk tanah yang tidak dalam kondisi free and clear," kata jaksa.
Jaksa mendakwa Luhur Budi Djatmiko melanggar Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Simak juga Video 'Duo Muller Bersaudara Divonis 3,5 Tahun Bui di Kasus Lahan Dago Elos':
(haf/dhn)