Jakarta -
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pembuktian sengketa Pilkada 2024. Hakim MK Enny Nurbaningsih mempertanyakan teori yang digunakan KPU terkait perkara unggulnya pasangan Erna Lisa Halaby-Wartono di Piwalkot Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dengan suara sah 100%, meski suara tidak sah lebih banyak.
"Teori mana sesungguhnya yang bisa membenarkan pasangan calon yang sudah dinyatakan didiskualifikasi? Sekaligus nanti dijelaskan apa sesungguhnya makna hakikat dari diskualifikasi pasangan calon itu," kata Enny dalam sidang Panel III di gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (7/2/2025).
Enny bertanya kepada ahli dari pihak KPU terkait paslon yang sudah didiskualifikasi tetapi tetap mendapat nomor urut hingga foto di surat suara. Enny menyebut masyarakat yang datang ke bilik suara bukan semata-mata sekadar seremonial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang sudah didiskualifikasi, tapi kemudian nama, nomor urut paslon, fotonya masih tetap ada ya. Kemudian dinyatakan sebagai suara tidak sah, yang mana itu dikatakan masih memberikan perlindungan kepada pemilih," kata Enny.
"Teori mana yang bisa membenarkan soal itu? Sehingga kita bisa kemudian melihat bahwa tidak semata-mata orang datang ke bilik suara, mencoblos itu kan, kalau Bu Titi (Perludem) mengatakan seremoni itu, tidak semata-mata soal itu, tetapi memang ada nilai, pilihan yang dinyatakan di situ," tambahnya.
Enny heran suara yang diberikan kepada calon yang didiskualifikasi dianggap tidak sah. Enny kembali meminta teori yang digunakan KPU dalam memutuskan hal itu.
"Tapi itu kemudian dinyatakan tidak sah. Apakah ketidaksahan tersebut sesungguhnya juga merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan dari regulasi yang menentukan mana suaranya dinyatakan sebenarnya tidak sah di dalam Undang-Undang Kepemiluan? Mungkin Bu Titi juga bisa menjelaskan soal ini," tambahnya.
Jawaban Ahli
Ahli dari pihak KPU, Khairul Fahmi, mengaku masih ada kelemahan pada Keputusan KPU Nomor 1774 Tahun 2024 yang berkaitan dengan pedoman teknis. Disebut tidak ada pembahasan lebih rinci soal suara yang diberikan ke paslon terdiskualifikasi akan beralih sebagai suara tidak sah.
"Saya melihat ada lagi kelemahan, ada kelemahan memang di keputusan KPU 1774 itu, bahwa ketika di situ diatur bahwa semua suara tidak sah, suara yang diberikan kepada calon diskualifikasi dinyatakan sebagai suara tidak sah, di situ memang tidak dirinci dalam konteks apa saja," kata Fahmi.
"Sehingga keberlakuannya menjadi umum. Dan kalau kita kaitkan dengan ketentuan pasal 10 Undang-Undang Pilkada itu, di situ clear dikatakan bahwa yang punya wewenang untuk merumuskan pedoman teknis pelaksanaan pemilu itu, pilkada itu adalah KPU," sambungnya.
Namun demikian, aturan itu juga tak bisa dianggap keliru. Ia mengakui jika ada dilema dalam pendeskripsian aturan itu.
"Namun hari ini dilemanya kan ketika calonnya tunggal gimana? Itu kemudian yang tidak juga clear. Lalu apakah ini ruang untuk kemudian bisa disimpangi oleh termohon dalam konteks pelaksana pilkada di Kota Banjarbaru? Dalam konteks ini Yang Mulia, saya dalam posisi ya, bahwa penyelenggara lebih akan memilih kepastian hukum," ujar dia.
Fahmi juga menyinggung anggapan KPU Banjarbaru bisa melakukan penundaan pencoblosan jika kondisi tak memungkinkan. Namun, ia menilai kewenangan akhir tetap ada pada KPU pusat.
"Lalu mungkinkah ditunda ataupun dilakukan pemilu susulan ataupun pemilu lanjutan dalam kontes pilkada ini? Itu mungkin saja. Namun sekali lagi Yang Mulia, dalam konteks keserentakan, pedoman itu ada di KPU RI semuanya," kata Fahmi.
"Yang pasti sekali lagi. Yang saya pahami, sejauh yang saya pelajari, bahwa konteks pedoman itu ada di KPU RI, maka tanggung jawab itu juga ada di KPU RI. Tidak sepenuhnya ada di tangan pilihan kebijakan, itu tidak sepenuhnya ada di tangan termohon," imbuhnya.
(dwr/rfs)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu