- Pasar keuangan ditutup bervariasi akhir pekan lalu, IHSG dan rupiah melemah tetapi obligasi masih menarik
- Wall Street pesta pora akhir pekan lalu
- Libur panjang dan data ekonomi akan menjadi penggerak pasar hari ini dan sepanjang satu pekan ke depan
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan RI bergerak variatif pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau koreksi, begitu juga dengan rupiah yang melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), tetapi obligasi terpantau masih diburu investor.
Pasar keuangan Indonesia diharapkan kompak menguat menjelang libur panjang pekan ini. Selengkapnya mengenai proyeksi sentimen pasar hari ini dan satu pekan ke depan bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.
Pada penutupan pekan lalu, Jumat (19/12/2025), IHSG terkoreksi 8,64 poin atau turun 0,10% dalam sehari ke level 8.609,55. Penyusutan harian tersebut membuat gerak indeks keseluruhan saham di bursa dalam seminggu juga melemah lebih dalam 0,59%.
Transaksi IHSG pekan lalu melibatkan 197 saham naik, 473 turun, dan 133 tidak bergerak. Total transaksi masih tergolong ramai atau mencapai Rp 47,07 triliun, melibatkan 40,81 miliar saham dalam 2,3 juta kali transaksi.
Transaksi terbesar Jumat lalu datang dari saham PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) milik Grup Sinar Mas dengan nilai Rp16,74 triliun serta PT Bangun Kosambi Sukses Tbk (CBDK) milik Aguan dengan nilai mencapai Rp5 triliun. Kedua transaksi jumbo tersebut dilakukan di pasar negosiasi.
Sementara itu, di pasar reguler, saham DSSA, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) tercatat menjadi saham paling aktif diperdagangkan.
Mayoritas sektor perdagangan melemah pada akhir pekan lalu, dengan koreksi terdalam dicatatkan oleh sektor konsumer non-primer, utilitas, dan teknologi. Adapun sektor kesehatan serta barang baku justru mencatatkan kenaikan tertinggi pada perdagangan pekan lalu.
BBCA tercatat menjadi kontributor terbesar pelemahan IHSG dengan sumbangsih penurunan sebesar 11,81 poin. Emiten lain yang turut menekan kinerja IHSG antara lain PT Bayan Resources Tbk (BYAN), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), dan PT Mora Telematika Indonesia Tbk (MORA).
Seiring dengan koreksi IHSG, asing terpantau mencatat net sell di pasar reguler sebanyak Rp233,71 miliar. Hal tersebut selaras dengan pergerakan rupiah yang turut melemah terhadap dolar AS.
Mengacu data Refinitiv pada akhir pekan lalu, rupiah Garuda ditutup melemah di level Rp16.635/US$, atau terdepresiasi 0,15%. Dalam sepekan rupiah juga sudah terkoreksi sekitar 0,60%.
Level penutupan pekan lalu menandai posisi terlemah sejak 18 November 2025, atau hampir dalam satu bulan terakhir. Sepanjang perdagangan, rupiah bergerak dalam rentang Rp16.700-Rp16.745/US$.
Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) pada pukul 15.00 WIB akhir pekan lalu, tercatat menguat 0,22% ke level 98,646. Penguatan ini sekaligus menandai kenaikan selama tiga hari berturut-turut sejak 17 Desember 2025, yang turut memberikan tekanan terhadap pergerakan rupiah.
Penguatan indeks dolar AS mencerminkan meningkatnya minat pelaku pasar terhadap aset berdenominasi dolar. Kondisi ini memicu arus keluar dana dari pasar negara berkembang atau emerging markets, termasuk dari aset berdenominasi rupiah, sehingga memberikan tekanan terhadap nilai tukar Garuda.
Penguatan dolar AS tersebut masih mendapat dukungan dari data klaim pengangguran mingguan AS yang tercatat turun 13.000 menjadi 224.000, relatif sejalan dengan ekspektasi pasar di kisaran 225.000. Data tersebut memperkuat persepsi bahwa kondisi pasar tenaga kerja AS masih cukup solid, sehingga menopang pergerakan dolar.
Meski demikian, ruang penguatan dolar AS sebenarnya tertahan oleh rilis sejumlah data ekonomi AS yang lebih lemah dari perkiraan.
Inflasi AS November tercatat naik 2,7% secara tahunan, lebih rendah dari ekspektasi 3,1%, sementara inflasi inti juga melambat ke 2,6% yoy, di bawah proyeksi 3,0% dan menjadi laju kenaikan terendah dalam sekitar 4,5 tahun. Kondisi ini memperkuat ekspektasi pasar bahwa The Fed masih memiliki ruang untuk melanjutkan siklus pelonggaran kebijakan moneternya.
Di sisi lain, langkah The Fed yang mulai kembali meningkatkan likuiditas turut memengaruhi dinamika pasar. Bank sentral AS telah memulai pembelian US Treasury Bills senilai US$40 miliar per bulan sejak pekan lalu, yang dipandang sebagai upaya menjaga kelonggaran likuiditas sistem keuangan.
Kombinasi sentimen tersebut membuat pergerakan dolar AS cenderung fluktuatif sepanjang akhir pekan lalu, sekaligus memberikan tekanan terhadap pergerakan rupiah hingga penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Di sisi lain, pasar obligasi menunjukkan pergerakan yang berbeda, terpantau dari yield surat utang acuan RI dengan tenor 10 tahun yang mengalami penurunan sepanjang pekan lalu.
Mengacu data Refinitiv, pada penutupan Jumat lalu, obligasi tenor 10 tahun berakhir di posisi 6,12%. Imbal hasil turun selama tiga pekan beruntun.
Patut dicatat, penurunan yield itu merupakan sinyal baik bagi pasar obligasi, karena gerak-nya berlawanan dengan harga. Artinya, ketika yield turun, harga obligasi malah sedang bergerak naik.


















































