Jakarta, CNBC Indonesia - Peraturan baru terkait perubahan besaran royalti mineral dan batu bara (minerba) resmi dikeluarkan. Sektor nikel jadi salah satu yang akan terdampak dari aturan ini.
Aturan baru ini yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.19 tahun 2025 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Berdasarkan Pasal 11 PP No.19 tahun 2025 ini, Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku setelah 15 hari terhitung sejak tanggal diundangkan. PP ini diundangkan pada tanggal yang sama dengan penetapan oleh Presiden Prabowo, yakni 11 April 2025.
Artinya, Peraturan Pemerintah ini berlaku efektif per 26 April 2025.
Kenapa pemerintah menaikkan tarif royalti?
Menaikkan tarif royalti di sektor minarba sebagai bagian dari langkah untuk menaikkan pendapatan negara bukan pajak.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, bahwa pada tahun ini pemerintah menargetkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) lebih tinggi untuk tahun-tahun mendatang. Adapun, pada tahun ini ditargetkan mencapai Rp513,6 triliun, lebih tinggi dari tahun sebelumnya Rp492 triliun.
Sebagai referensi, sektor mineral dan batu bara (minerba) menyumbang 42,21% dari total penerimaan negara bukan pajak pada 2024.
Dalam 10 tahun, rata-rata kontribusi sektor minerba pada (PNBN) memiliki porsi paling besar. Pernah mencapai puncaknya pada 2022 sebanyak 45,13% atau setara Rp268,77 triliun.
Harga Nikel Masih Bergejolak
Sektor nikel yang digoyang kenaikan tarif ini juga mendapatkan tekanan dari pergerakan harga acuan yang masih turun.
Pada perdagangan Rabu (16/4/2025) harga acuan nikel LME berada di US$15.68085/ton, menguat 0,93%.
Jika ditarik mundur dalam sepekan ada pemulihan lebih dari 6% sejak menyentuh level terendah dalam empat tahun di posisi US$ 14.150/ton pada 8 April lalu dan sedikit menutup impas posisi sejak awal tahun.
Namun, dalam setahun terakhir harga acuan nikel ini masih turun lebih dari 15% dan belum keluar dari down-tren dalam tiga tahun terakhir.
Foto: Trading economic
Harga nikel
Penurunan harga nikel dalam beberapa tahun terjadi akibat kelebihan pasokan dari Indonesia, sementara permintaan belum bisa mengikuti karena perlambatan ekonomi global, terutama dari China yang masih lesu.
Kemudian akhir-akhir ini semakin diperparah dengan kekhawatiran perang dagang, terutama setelah Trump memutuskan tarif resiprokal, meskipun ada penundaan selama 90 hari.
Namun, tensi perang dagang masih meningkat dengan Tiongkok yang mengumumkan tarif 34% untuk semua impor AS dan kontrol ekspor untuk tanah jarang mulai 10 April, sebagai tanggapan atas tarif AS baru-baru ini yang dikenakan oleh Presiden Trump.
Sementara itu, ada peningkatan stok nikel di London Metal Exchange (LME) turut menekan harga, dengan nikel Indonesia yang diproses Tiongkok sekarang menyumbang lebih dari 50% inventaris LME, naik dari hanya 11% pada awal tahun 2024.
Lantas, Gimana Dampak Tarif Royalti ke Emiten?
Untuk mencermati dampaknya, di sini kami menunjukkan data resmi kenaikan tarif yang akan berlaku pada bulan ini menurut data Kementerian ESDM.
Jika dibandingkan dengan usulan sebelumnya ada beberapa perubahan yang lebih rendah. Sebelumnya, Kementerian ESDM mengusulkan tarif royalti feronikel berkisar 5-7% dan untuk nickel matte berkisar 4,5-6%.
Namun, tarif itu berubah dalam regulasi final, tarif royalti feronikel menjadi sekitar 4-6%, sementara nickel matte sekitar 3,5-5,5%.
Adapun dari tabel di atas harga acuan akan didasarkan pada beberapa rentang harga. Jika mengacu pada harga saat ini yang masih berada di bawah US$ 18.000 per ton, maka yang akan paling kena dampak adalah emiten yang punya bisnis nikel jenis Ferronickel (FeNi) dan Nickel Matte dengan kenaikan tarif royalti, masing-masing mencapai 100 dan 75%.
Sementara untuk jenis Nickel Ore mengalami kenaikan 40% dari tarif semula 10% menjadi 14%. Sedangkan jenis Nickel Pig Iron (NPI) tidak mengalami perubahan tarif.
Kami melihat ada beberapa emiten yang akan kena dampaknya, seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) yang banyak memiliki produk akhir FeNi.
Lalu dengan produk akhir Nickel Matte ada PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dan PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA), melalui PT Zhao Hui Nickel.
Secara keseluruhan dengan adanya tarif royalti ini maka perusahaan akan mengalami peningkatan beban untuk kinerja keuangannya.
Melihat secara profitabilitas per akhir tahun lalu, ANTM masih memimpin dengan perolehan laba paling banyak, sementara yang paling buncit MBMA, tetapi emiten ini unggul dari sisi growth yang paling moncer.
Namun, perlu dipertimbangkan juga dari sisi margin, karena di tengah kondisi penurunan harga acuan dan kenaikan tarif potensi menggerus margin laba.
Meski begitu perlu dipahami juga, bahwa setiap perusahaan itu dari sisi segmen pendapatan tak hanya bergantung dari nikel. Sebagian dari mereka memiliki saluran pendapatan yang masih bisa menambal penurunan keuntungan dari nikel.
Sebagai catatan, produk nikel di Indonesia rata-rata dihasilkan melalui smelter RKEF, diantaranya ada Feronickel (FeNi) yang memiliki komposisi utama berupa besi dan nikel.
Feronikel sendiri punya kadar nikel sebesar 15-40%, di mana kadar nikel menentukan kualitas produk akhir.
Selain itu, smelter RKEF juga menghasilkan nickel pig iron (NPI) yang merupakan produk feronikel dengan kualitas paling rendah (2-15% Ni). Keduanya, digunakan sebagai bahan baku stainless steel.
Sementara, jika tidak langsung dijual, NPL dan Feni bisa dibentuk lagi dengan kualitas lebih tinggi menjadi nickel matte (30%-80%). Ini bisa menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.(tsn/tsn)