Jakarta, CNBC Indonesia — Pasar komoditas global sejak 2020 berada dalam kondisi penuh gejolak akibat disrupsi pandemi, kebijakan perdagangan era Trump, perang, hingga sanksi yang mengguncang sisi permintaan dan penawaran.
Melansir the Economist, Jumat (14/11/2025), para analis menilai tahun depan pasar komoditas akan mengalami dinamika yang berbeda-beda.
Sebagaimana diketahui, selera investor terhadap emas melonjak akibat ketidakpastian politik, krisis geopolitik, guncangan perdagangan, serta prospek penurunan suku bunga Amerika yang mendorong pencarian aset aman.
Setelah menembus US$4.000 per ounce pada 2025, harga emas berpotensi melampaui US$4.500 pada 2026, didorong kejutan politik, inflasi tinggi di Amerika, hingga instabilitas global.
Investor ritel maupun bank sentral diperkirakan akan terus memborong emas, sementara perak turut menikmati permintaan tinggi dan tetap bersinar.
Lalu logam industri, yang akan menjadi penentu apakah pasar komoditas secara keseluruhan akan tetap stabil atau justru terjerumus ke tekanan deflasi. Komoditas utama dalam kelompok ini adalah tembaga, yang kerap menjadi barometer kesehatan ekonomi global.
Pada Juli 2025, harga tembaga mencetak rekor di bursa komoditas Amerika setelah Donald Trump mengumumkan tarif 50% untuk impor tembaga. Harga itu sempat turun ketika tarif ternyata hanya berlaku untuk produk berbahan tembaga, namun kembali naik karena kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut bisa diperluas.
Memasuki 2026, harga tembaga diperkirakan tetap fluktuatif karena berbagai faktor saling bertabrakan. Tarif akan membebani ekonomi global dan ketidakpastian dapat menguatkan dolar, sehingga menekan daya beli produsen yang membayar tembaga dalam mata uang lain.
Namun pemangkasan suku bunga oleh The Fed bisa memberikan efek sebaliknya, sementara penjualan mobil listrik global berpotensi melonjak cepat sehingga meningkatkan kebutuhan tembaga untuk baterai, kabel, dan motor listrik. Gangguan suplai dan penundaan proyek baru juga bisa memperketat pasar, ditambah kemungkinan pabrik-pabrik China kembali pulih.
Para pelaku pasar berharap tembaga dapat menjadi penawar "hangover" yang melanda pasar komoditas sepanjang tahun depan. Jika permintaan meningkat dan gangguan pasokan terjadi, tembaga bisa menjadi faktor penyeimbang dalam lanskap komoditas global yang tengah mencari arah.
Sementara itu, komoditas energi dan pangan, yang permintaannya diperkirakan tetap lemah karena tarif impor Amerika menekan pertumbuhan ekonomi dan kondisi ekonomi China belum pulih.
Di sisi lain, suplai melimpah dengan produksi gas alam mencapai rekor tertinggi berkat proyek-proyek baru di Amerika, Qatar, dan negara lain, sementara iklim yang menghangat membuat musim dingin ekstrem semakin jarang terjadi.
Limpahan pasokan juga tampak dari panen gandum, jagung, dan kedelai yang melimpah pada 2025 sehingga meningkatkan stok global. Komoditas paling ikonik dalam kelompok ini adalah minyak mentah, yang diperkirakan tetap berlimpah selama tidak ada blokade penuh Amerika terhadap minyak Rusia dan negara-negara Teluk terus memulihkan produksi yang sebelumnya dipangkas.
Para analis menilai bahwa harga komoditas dalam kategori ini bisa saja jatuh begitu rendah sehingga memicu aksi borong yang berpotensi membangkitkan kembali permintaan. Hal ini menjadi perhatian utama untuk komoditas yang saat ini tengah tertekan akibat kombinasi permintaan lemah dan pasokan berlebih.
(mkh/mkh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Trump Tak Perpanjang Deadline Tarif, Gerak Bursa Asia Bervariasi

















































