Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak awal masa kepemimpinannya, Paus Fransiskus dikenal sebagai pemimpin yang tak segan melangkah ke tempat-tempat yang selama ini jarang atau bahkan belum pernah dikunjungi oleh paus sebelumnya.
Dengan keberanian moral dan semangat pelayanan, ia menembus batas geografis, budaya, dan bahkan bahaya demi menyuarakan perdamaian dan kasih sayang universal.
Salah satu kunjungan paling bersejarah terjadi pada tahun 2021, saat Paus Fransiskus melakukan perjalanan ke Irak yang selama bertahun-tahun dilanda perang dan konflik sektarian.
Ia mengunjungi kota Ur, tempat yang diyakini sebagai asal Abraham, tokoh sentral dalam agama-agama Ibrahimik, dan bertemu dengan pemimpin Muslim Syiah, Ayatollah Sistani. Di tengah reruntuhan dan luka sejarah, Paus menyampaikan pesan persaudaraan lintas iman.
Paus Fransiskus mengungkapkan bahwa dirinya menjadi target upaya bom bunuh diri saat kunjungan bersejarahnya ke Irak. Momen tersebut adalah kunjungan pertama oleh seorang Paus Katolik ke negara tersebut dan mungkin merupakan perjalanan luar negeri paling berisiko selama masa kepausannya.
Foto: Reuters
Kunjungan Paus ke Irak
Dalam kutipan dari autobiografi terbarunya yang diterbitkan pada hari Selasa, Paus menyatakan bahwa setelah mendarat di Baghdad pada Maret 2021, polisi memberitahunya bahwa sedikitnya dua pelaku bom bunuh diri yang telah diidentifikasi sedang menargetkan salah satu acara yang dijadwalkan.
Kunjungan Paus ke Mosul menjadi salah satu momen penting dalam perjalanannya di Irak. Kota terbesar kedua di Irak ini sebelumnya berada di bawah kendali kelompok Negara Islam (ISIS) dari tahun 2014 hingga 2017. Di sana, Paus mengunjungi reruntuhan empat gereja yang hancur dan menyerukan perdamaian.
Selama kunjungan tersebut, Vatikan hanya memberikan sedikit informasi tentang persiapan keamanan bagi Paus. Banyak acara yang digelar saat itu - yang berlangsung di tengah pelonggaran awal pandemi Covid-19 - hanya dihadiri oleh sejumlah orang yang terbatas.
Tahun 2015, ia menapaki tanah Republik Afrika Tengah yang sedang bergolak akibat perang saudara. Di sana, ia membuka Pintu Suci Tahun Kerahiman, bukan di Vatikan seperti biasanya, melainkan di Bangui, sebuah tindakan simbolis yang mengubah kota kecil itu menjadi pusat spiritual dunia.
Tak hanya mengunjungi zona konflik, Paus Fransiskus juga hadir di pusat krisis kemanusiaan. Di Pulau Lesbos, Yunani (2016), ia bertemu langsung dengan para pengungsi dan bahkan membawa beberapa dari mereka ke Roma. Ia juga datang ke Myanmar dan Bangladesh pada 2017 untuk menunjukkan kepedulian terhadap etnis Rohingya yang tertindas, meski dalam situasi diplomatik yang sensitif.
Dalam kunjungannya ke Jepang pada 2019, Paus Fransiskus berdiri di Hiroshima dan Nagasaki, dua kota yang pernah luluh lantak oleh bom atom. Di sana, ia mengecam keras kepemilikan dan penggunaan senjata nuklir, menegaskan bahwa senjata tersebut "harus dihapuskan, bukan dibenarkan."
Paus Fransiskus juga menjadi pemimpin pertama Gereja Katolik yang melakukan perjalanan ke Sudan Selatan (2023) bersama pemimpin gereja lainnya, sebagai ziarah ekumenis demi perdamaian di negara yang masih muda namun penuh luka.
Lewat setiap perjalanan ini, Paus Fransiskus membawa pesan yang sama: bahwa Gereja tidak hanya ada untuk yang kuat dan nyaman, melainkan hadir terutama untuk mereka yang tertindas, terlupakan, dan terpinggirkan. Kunjungannya ke tempat-tempat tak terduga ini bukan hanya diplomasi, melainkan kesaksian hidup tentang kasih tanpa batas.
Foto: Reuters
Kunjungan Paus ke Sudan Selatan
(mae/mae)