Jakarta, CNBC Indonesia - Kepulauan Aleut di Alaska, Amerika Serikat (AS), pernah dihantam gempa raksasa berkekuatan M 8,6 pada 1 April 1946. Fenomena tersebut memicu gelombang tsunami besar di Samudra Pasifik yang membunuh 159 orang di Hawaii.
Pasca bencana tragis tersebut, sistem peringatan tsunami AS lahir. Kini, setelah hampir 80 tahun beroperasi, jaringan stasiun pemantauan seismik dan permukaan laut yang menyelamatkan nyawa tersebut runtuh.
Di bawah pengawasan NOAA, stasiun-stasiun tersebut bergantung pada dana federal yang dipotong oleh pemerintahan Trump tahun ini. Akibatnya, 9 stasiun seismik yang dioperasikan oleh Pusat Gempa Alaska akan ditutup pada pertengahan November ini, menurut laporan News Source dari Alaska.
Stasiun-stasiun tersebut mengumpulkan data penting tentang bentuk dan magnitudo gempa bumi di salah satu wilayah paling aktif secara seismik di dunia, yakni Zona Subduksi Alaska-Aleut.
Batas sepanjang 4.000 kilometer ini merupakan tempat Lempeng Pasifik bergeser di bawah Lempeng Amerika Utara, dan berpotensi menghasilkan gempa bumi dan tsunami dahsyat seperti bencana tahun 1946.
Para pakar memperingatkan penutupan stasiun-stasiun yang memonitor Zona Subduksi dapat meruntuhkan kemampuan AS dalam mendeteksi tsunami dan mengeluarkan perintah evakuasi sebelum terlambat.
"Pusat Gempa Alaska menyayangkan pemangkasan dana dari NOAA," kata Manajer Komunikasi Elisabeth Nadin kepada Gizmodo, dikutip Selasa (11/11/2025).
"Kami menyesalkan terganggunya kemampuan Pusat Peringatan Tsunami Nasional untuk mengeluarkan dan memperbarui peringatan tsunami karena hilangnya dana ini," ia menambahkan.
Dalam upaya penghematan anggaran federal, pemerintahan Trump telah memangkas pengeluaran di sektor penelitian ilmiah dan iklim. NOAA menjadi salah satu lembaga yang paling terdampak pemangkasan anggaran.
PHK massal dan pengajuan pemangkasan anggaran mengancam, bahkan bisa menghapus, beberapa bada penelitian lembaga tersebut. Di antaranya termasuk Kantor Penelitian Samudra dan Atmosfer, Layanan Cuaca Nasional, dan pusat ilmiah Perikanan NOAA.
Sistem peringatan tsunami tak terkecuali. Program ini sudah berdarah-darah berhadapan dengan pengurangan dana dan tenaga kerja. Dua pusat peringatan tsunami NOAA yang berlokasi di Hawaii dan Alaska mengalami kekurangan tenaga kerja sebelum PHK dilakukan.
Di stasiun Alaska, pekerja yang sebelumnya berjumlah 20 orang kini tersisa 11 orang, menurut laporan NBC News.
Selama tahun fiskal 2024-2025, NOAA juga mengurangi anggaran ke Program Mitigasi Tsunami Nasional yang mendukung upaya pengurangan risiko tsunami.
9 stasiun pemantauan yang akan berhenti beroperasi bulan ini sebelumnya didukung oleh hibah NOAA sebesar US$300.000 (Rp5 miliar) per tahun. Kim Doster, juru bicara NOAA, mengatakan kepada Gizmodo melalui email bahwa NOAA telah menghentikan pendanaan hibah tersebut pada tahun fiskal 2024.
Pusat Gempa Alaska mengajukan permohonan dana hibah baru hingga tahun 2028, tetapi ditolak, menurut email antara Direktur Michael West dan staf NOAA yang diperoleh NBC News.
Universitas Alaska Fairbanks meningkatkan pendanaan program tersebut untuk satu tahun lagi dengan harapan dana federal pada akhirnya akan tersedia, tetapi hal itu tidak pernah terwujud, menurut NBC.
9 stasiun tersebut terletak di Kepulauan Aleut bagian barat dan Laut Bering, di mana mereka umumnya menjadi satu-satunya stasiun dalam radius ratusan mil di beberapa bagian zona subduksi Alaska-Aleut, menurut Nadin.
Wilayah ini menghasilkan "hampir semua tsunami Amerika Utara yang melintasi Samudra Pasifik, menyebabkan kerusakan di Alaska, Hawaii, Washington, Oregon, dan California," ujarnya.
"Hilangnya pendanaan ini juga berarti bahwa seluruh jaringan seismik Pusat Gempa Alaska tidak akan lagi dikirim langsung ke Pusat Peringatan Tsunami Nasional, yang selama ini telah mengakses jaringan ini untuk merumuskan sendiri penentuan risiko tsunami dari gempa bumi besar di Alaska," tambah Nadin.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]

















































