Tradisi Natal Ini Hilang dari RI Usai Resmi Usir 46.000 Orang Belanda

4 hours ago 4

Jakarta, CNBC Indonesia - Di luar perayaan Natal pada 24-25 Desember, masyarakat Indonesia pada masa lalu sebenarnya juga mengenal satu perayaan lain yang cukup meriah, yakni Hari Sinterklas setiap 5 Desember. Sayangnya, perayaan itu kini sudah punah.

Bagaimana bisa?

Tradisi Hari Sinterklas merupakan warisan dari Belanda. Selama ratusan tahun, masyarakat Belanda merayakan pesta Sinterklas setiap 5 Desember. Dalam kisahnya, Sinterklas digambarkan datang bersama pembantunya, Piet Hitam atau Zwarte Piet. Keduanya diyakini berlayar menuju Belanda dengan kapal uap, lalu masuk ke rumah-rumah melalui cerobong asap untuk membagikan hadiah kepada anak-anak.

Saat Belanda menjajah Indonesia, tradisi tersebut ikut dibawa. Orang-orang Belanda dan umat Kristiani di Indonesia pun ikut merayakannya. Namun, karena kondisi rumah di Indonesia berbeda dan tidak memiliki cerobong asap, tradisi itu mengalami penyesuaian. Anak-anak menaruh sepatu berisi rumput di bawah jendela rumah sebagai tanda agar Sinterklas meletakkan hadiah di sana.

Berdasarkan kebiasaan itu, setiap tanggal 5 Desember, warga Belanda dan Indo-Belanda di Indonesia merayakan Hari Sinterklas dengan penuh suka cita. Perayaannya kerap berlangsung meriah, bahkan disertai arak-arakan. Tradisi ini terus dijalankan dari tahun ke tahun, termasuk setelah Indonesia merdeka, hingga setidaknya bertahan sampai dekade 1950-an.

Menurut kesaksian Amelia Yani dalam biografi ayahnya berjudul Achmad Yani Tumbal Revolusi (1988), Hari Sinterklas menjadi momen yang paling dinantikan oleh anak-anak.

"Kami percaya Sinterklas akan datang tengah malam dan mengirim banyak hadiah," kenang Amelia.

Namun, suasana penuh kegembiraan itu berakhir secara tiba-tiba pada 1957 akibat sentimen Soekarno terhadap orang Belanda di Tanah Air. Sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1999) mencatat, sentimen itu muncul akibat kegagalan diplomasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait permasalahan Irian Barat. Saat itu, Irian Barat (Kini Papua) belum menjadi bagian Indonesia. 

Akibatnya, dua hari setelah keputusan PBB tidak memberi kabar baik bagi Indonesia, Kabinet Djuanda mulai membahas langkah-langkah balasan terhadap Belanda. Pemerintah mencabut hak pendaratan pesawat-pesawat maskapai asal Belanda dan melarang peredaran surat kabar dan film Belanda. Langkah ini juga membuat serikat buruh mengambil alih perusahaan-perusahaan milik Belanda pada 3 Desember 1957.

Sampai akhirnya, kemarahan publik mencapai puncaknya pada 5 Desember 1957 atau tepat pada Hari Sinterklas. Pada hari itu, Presiden Soekarno melalui Departemen Kehakiman secara resmi mengusir sekitar 46.000 warga Belanda yang masih tinggal di Indonesia.

Alhasil, tanggal tersebut yang seharusnya dirayakan dengan bertukar kado dan bernyanyi berubah menjadi duka. Peristiwa ini kemudian dikenang dengan sebutan Sinterklas Hitam. Di kalangan orang Belanda yang kian terdesak, mereka kemudian memilih keluar dari Indonesia. 

Banyak dari mereka mencairkan seluruh tabungan dan bergegas membeli tiket pesawat. Sebagian lain harus berebut tempat di kapal laut untuk bisa segera pergi. Sejak peristiwa itulah, ketiadaan orang Belanda membuat perayaan Hari Sinterklas setiap 5 Desember yang dibarengi oleh kemunculan Pit Hitam (Zwarte Piet) perlahan menghilang dari rutinitas tahunan warga Indonesia hingga akhirnya benar-benar punah.

(mfa/mfa)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |