Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Jepang, Bank of Japan atau BoJ telah menaikkan suku bunga acuannya ke level tertinggi sejak 1995 atau tepatnya 30 tahun lalu. Kondisi ini memicu kekhawatiran investor dunia terhadap kondisi ekonomi global.
Dalam rapat dewan gubernur BoJ pada Desember 2025, suku bunga acuan kembali naik ke level 0,75% setelah sebelumnya pada November di level 0,5%.
Naiknya suku bunga acuan BoJ telah terjadi sejak Maret 2024 dari yang selama ini di level minus 0,1% menjadi 0,1%. Lalu, kenaikan berlanjut pada Agustus 2024 menjadi 0,25% dan ke level 0,5% sejak Januari 2025.
Kepala Ekonom HSBC di Hong Kong untuk Asia Frederic Neumann mengatakan, kenaikan suku bunga acuan BoJ memiliki dampak yang sangat luas, sebagaimana kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed).
"Saya tidak berpikir kita dapat sepenuhnya memperlakukan ini sebagai peristiwa khusus di Jepang saja," kata Frederic Neumann dilansir Wall Street Journal, dikutip Minggu (21/12/2025).
Kenaikan suku bunga acuan BoJ berlawanan arah dengan suku bunga The Fed, Fed Fund Rates (FFR). Bank sentral AS secara konsisten memangkas suku bunga acuannya sejak September 2024, dari 5,33% menjadi 5,13%. Lalu, pada Desember 2025 turun makin dalam menjadi 3,64%.
Bagi The Fed, setiap suku bunga kebijakannya akan langsung mempengaruhi aktivitas ekonomi global, akibat peran sentral dolar dalam keuangan dan perdagangan dunia. Selain itu, daya beli atau tingkat konsumsi negara dengan kapasitas ekonomi terbesar dunia itu juga sangat penting bagi pergerakan ekonomi global.
Sementara itu, pergerakan suku bunga BoJ mempengaruhi dunia karena selama ini level rate yang rendah, bahkan minus membuat yen menjadi mata uang yang menarik sebagai lindung nilai bagi para investor untuk membeli aset-aset dengan imbal hasil tinggi seperti saham di AS maupun obligasi US Treasury.
Maka, ketika suku bunga di Jepang naik, nilai mata uang yen cenderung menguat. Hal ini membuat strategi carry trade atau meminjam yen untuk investasi di aset lain menjadi kurang menarik.
Dalam kondisi yang ekstrem, para investor bisa terpaksa menjual saham, obligasi, dan aset lainnya untuk melunasi pinjaman mereka yang menggunakan yen. Penjualan besar-besaran ini dapat mengganggu stabilitas pasar dan menyebabkan harga aset turun.
Tekanan pada pola transaksi investor yang kerap disebut carry trade itu pernah terjadi saat krisi keuangan 2008-2009 dan baru-baru ini pada 2024, ketika data pasar tenaga kerja yang lemah di AS menyebabkan aksi jual saham dan memberi tekanan pada carry trade dengan leverage.
Namun, peristiwa seperti ini biasanya hanya berlangsung dalam waktu singkat. Bank Sentral Jepang juga telah berhati-hati dengan memberi sinyal terlebih dahulu terkait langkah kebijakan terbarunya. Sebagian besar ekonom memperkirakan BoJ akan tetap bersikap hati-hati dalam melakukan kenaikan suku bunga selanjutnya.
Kekhawatiran jangka panjang justru berkaitan dengan perilaku investor Jepang ketika bank sentral di negaranya secara perlahan menaikkan suku bunga.
Bertahun-tahun suku bunga yang sangat rendah telah mendorong dana pensiun Jepang, perusahaan asuransi, hingga investor ritel kecil untuk mencari imbal hasil yang lebih tinggi di luar negeri, terutama pada obligasi pemerintah AS, saham, serta aset serupa di Eropa dan Asia.
Seiring naiknya suku bunga di Jepang, aset-aset domestik menjadi relatif lebih menarik bagi investor lokal menyimpan dananya di dalam negeri dibandingkan aset luar negeri. Kondisi ini dapat mendorong investor Jepang untuk menjual kepemilikan mereka di luar negeri dan menarik kembali dana tersebut ke dalam negeri.
Langkah tersebut berpotensi melemahkan mata uang seperti dolar AS, menekan harga saham, serta mendorong kenaikan biaya pinjaman bagi pemerintah, pelaku usaha, dan rumah tangga, termasuk di Amerika Serikat.
Imbal hasil obligasi pemerintah akan naik ketika harganya turun, yang pada akhirnya memengaruhi suku bunga pinjaman yang dihadapi masyarakat umum.
Meski demikian, kebijakan Jepang bukan satu-satunya faktor yang memengaruhi imbal hasil obligasi. Faktor lain yang bahkan lebih besar pengaruhnya mencakup tingkat inflasi serta pandangan investor terhadap prospek pertumbuhan ekonomi dan belanja pemerintah.
Namun, jika melihat ke depan dalam dua hingga tiga tahun, Neumann menganggap, apabila suku bunga jangka pendek di Jepang naik ke kisaran 1% atau 2%, hal itu akan berdampak "bertahap tetapi terasa" terhadap biaya pinjaman global, seiring investor Jepang mengurangi kepemilikan obligasi pemerintah negara lain.
Untuk saat ini, setidaknya, melemahnya nilai tukar yen dan sejumlah data lainnya menunjukkan bahwa investor Jepang masih terus mengalirkan dana ke luar negeri.
Dalam periode satu tahun hingga November, investor Jepang mencatatkan pembelian bersih sebesar US$ 102 miliar atas surat berharga luar negeri seperti saham dan obligasi, berdasarkan data Kementerian Keuangan Jepang, jauh lebih besar dibandingkan pembelian bersih sebesar US$ 4,4 miliar pada 2024.
Meski Bank of Japan kini mulai mengetatkan kebijakan moneter, masih belum jelas seberapa tinggi suku bunga Jepang akan dinaikkan. Perekonomian Jepang sendiri sudah berada dalam risiko kehilangan momentum, ujar Stefan Angrick, Kepala Ekonom Moody's Analytics, Tokyo.
"Bagi mereka, akan sulit untuk melangkah lebih jauh dari posisi saat ini," ujarnya.
Para pejabat Bank of Japan menaikkan suku bunga kebijakan sebagai respons terhadap inflasi yang masih bertahan rendah, kondisi yang menekan aktivitas ekonomi di negara sakura itu karena selama puluhan tahun bergulat dengan harga yang stagnan atau bahkan menurun.
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]


















































