PSEL sebagai Titik Awal Program Pengendalian Sampah Nasional

3 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Persoalan sampah di Indonesia telah lama melampaui sekadar isu teknis pengelolaan kota. Di banyak wilayah, sampah telah berkembang menjadi krisis struktural yang menekan sistem lingkungan, kesehatan publik, serta keberlanjutan pembangunan.

Laju timbulan sampah meningkat jauh lebih cepat dibandingkan kemampuan sistem pengelolaannya. Tempat pemrosesan akhir (TPA) semakin penuh, jarak angkut kian jauh, biaya operasional melonjak, sementara kualitas lingkungan terus menurun. Dalam konteks ini, sampah bukan lagi persoalan estetika, melainkan ancaman nyata bagi ketahanan nasional.

Skala krisis ini tercermin jelas dalam data nasional. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat bahwa pada 2023, dengan pembaruan per 24 Juli 2024 dari 290 kabupaten dan kota, jumlah sampah nasional mencapai 31,9 juta ton.

Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 63,3 persen atau 20,5 juta ton yang berhasil dikelola. Sisanya, sekitar 11,3 juta ton atau 35,67 persen, masih tidak tertangani. Angka ini menegaskan bahwa kapasitas sistem pengelolaan sampah nasional telah tertinggal jauh dari laju produksi sampah.

Kegagalan sistem tersebut juga tercermin dari rendahnya kualitas pengolahan. Data KLHK menunjukkan bahwa sekitar 60,99 persen sampah di Indonesia tidak terkelola secara layak dan berakhir di TPA dengan sistem open dumping, dibakar secara terbuka, atau bocor ke badan air. Praktik ini memperbesar risiko pencemaran lingkungan, meningkatkan potensi banjir, serta memicu konflik sosial di sekitar TPA yang kian padat dan bermasalah.

Kondisi TPA secara nasional memperlihatkan situasi yang tidak kalah mengkhawatirkan. Dari sekitar 2.700 TPA di Indonesia, hanya sekitar 10 persen yang telah menerapkan sistem sanitary landfill.

Sebagian besar masih mengandalkan metode open dumping tanpa pengelolaan lindi dan gas yang memadai. Akibatnya, pencemaran tanah dan air tanah meningkat, sementara risiko kebakaran TPA dan pelepasan gas metana semakin tinggi. Metana sendiri merupakan salah satu gas rumah kaca utama penyumbang perubahan iklim.

Karena itu, krisis sampah tidak dapat lagi dipahami sebagai isu lokal atau administratif semata. Sektor limbah berkontribusi sekitar 12 persen terhadap total emisi gas rumah kaca nasional, dengan porsi terbesar berasal dari metana di TPA. Artinya, persoalan sampah telah berkelindan langsung dengan agenda iklim, pembangunan berkelanjutan, dan ketahanan nasional.

Dalam situasi darurat seperti ini, negara tidak bisa lagi bergerak dengan pendekatan biasa. Diperlukan langkah yang tegas, terukur, dan mampu bekerja cepat.

Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik atau PSEL perlu dibaca dalam kerangka tersebut. PSEL bukan solusi sempurna dan bukan jawaban tunggal atas seluruh persoalan sampah. Namun dalam konteks krisis yang sudah terlanjur membesar, PSEL merupakan langkah awal yang realistis untuk mempercepat pengendalian sampah nasional.

Selama bertahun tahun, pengelolaan sampah di Indonesia terlalu bertumpu pada pendekatan hilir yang pasif. Sampah dikumpulkan, diangkut, lalu dibuang ke TPA. Pendekatan ini seolah bekerja, tetapi sesungguhnya hanya menunda masalah.

Ketika kapasitas TPA habis, konflik sosial meningkat, pencemaran meluas, dan biaya lingkungan harus dibayar jauh lebih mahal. Dalam kondisi seperti ini, intervensi teknologi yang mampu menurunkan volume sampah secara signifikan menjadi kebutuhan mendesak.

PSEL hadir sebagai bentuk intervensi tersebut. Melalui teknologi pengolahan berbasis panas yang mengubah sampah menjadi energi listrik, residu sampah yang selama ini menumpuk dapat ditangani secara lebih terukur. Dampaknya bersifat langsung. Volume sampah yang masuk ke TPA berkurang drastis, umur TPA dapat diperpanjang, dan tekanan lingkungan dapat dikendalikan.

Bappenas mencatat bahwa teknologi pengolahan sampah termal mampu mereduksi massa sampah hingga 85 sampai 90 persen. Dalam kerangka kebijakan publik, fungsi utama PSEL adalah sebagai alat pengendalian cepat krisis sampah, sementara energi yang dihasilkan menjadi nilai tambah strategis.

Nilai tambah tersebut semakin relevan jika dilihat dari perspektif ketahanan energi nasional. PSEL menghasilkan listrik yang bersifat baseload, stabil, dan tidak bergantung pada kondisi cuaca.

Di tengah kebutuhan untuk memperkuat keandalan sistem kelistrikan dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil, listrik dari PSEL dapat menjadi sumber energi alternatif yang mendukung diversifikasi pasokan. Dengan demikian, PSEL tidak hanya berfungsi sebagai solusi lingkungan, tetapi juga sebagai instrumen pendukung ketahanan energi nasional.

Pengalaman global memperkuat argumen ini. Secara internasional, sekitar 13 persen sampah perkotaan telah dimanfaatkan sebagai bahan baku fasilitas waste to energy. Negara seperti Jepang, China, Jerman, Denmark, dan Singapura telah mengoperasikan fasilitas serupa dengan kapasitas pengolahan jutaan ton per tahun dan produksi listrik hingga ribuan gigawatt hour.

Praktik ini menunjukkan bahwa sampah dapat diubah dari beban lingkungan menjadi sumber energi tambahan jika dikelola dengan teknologi dan tata kelola yang tepat.

Dalam konteks Indonesia, PSEL juga memiliki dimensi strategis yang lebih luas, yakni mendukung transisi energi. Selama ini, diskursus energi bersih kerap terpisah dari persoalan sampah. PSEL menjembatani keduanya. Sampah yang sebelumnya menjadi beban kini diperlakukan sebagai sumber daya. Dengan demikian, PSEL menjadi bagian dari strategi diversifikasi energi sekaligus penguatan ketahanan energi nasional.

Lebih dari itu, PSEL mencerminkan perubahan cara negara memandang persoalan sampah. Sampah tidak lagi diperlakukan sebagai isu lokal yang sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah daerah.

Melalui kebijakan PSEL, negara hadir lebih tegas melalui kerangka hukum, pembagian peran, serta dukungan lintas sektor. Pemerintah pusat menetapkan arah kebijakan, memastikan kepastian hukum, menugaskan offtaker energi, dan membuka ruang investasi. Ini adalah sinyal kuat bahwa persoalan sampah telah dinaikkan statusnya menjadi isu strategis nasional.

Meski demikian, penting untuk disampaikan secara jujur bahwa PSEL bukan solusi instan dan tidak dapat berdiri sendiri. Keberhasilannya sangat bergantung pada pemilihan teknologi yang tepat, tata kelola yang transparan, serta pengawasan lingkungan yang ketat.

Jika dijalankan dengan baik, PSEL berpotensi menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih rendah dibandingkan metode pengelolaan sampah konvensional, sekaligus menjadi langkah awal yang signifikan dalam penyelesaian krisis sampah nasional.

Dalam jangka menengah dan panjang, PSEL harus diikuti dengan pembenahan dari sisi hulu. Tanpa pengurangan dan pemilahan sampah yang kuat, efisiensi sistem akan terbatas. Pengalaman negara maju menunjukkan bahwa fasilitas energi hanya menerima residu akhir, bukan sampah mentah yang masih dapat didaur ulang atau dimanfaatkan kembali.

Karena itu, PSEL seharusnya dipahami sebagai pintu masuk transformasi sistem pengelolaan sampah nasional. Setelah langkah tegas di sisi hilir diambil, tahapan berikutnya adalah pembenahan hulu melalui edukasi publik dan penerapan prinsip reduce, reuse, dan recycle. Tanpa perubahan perilaku masyarakat, sistem sebaik apa pun akan selalu tertinggal oleh laju timbulan sampah.

Dalam kerangka ini, PSEL berperan sebagai jembatan transisi. Ia membantu negara keluar dari situasi darurat sampah, sambil memberi ruang dan waktu untuk membangun sistem pengelolaan hulu yang lebih berkelanjutan. Tanpa intervensi seperti PSEL, pembenahan hulu berisiko tidak efektif karena tekanan sampah di hilir terus meningkat.

Ke depan, rencana Danantara Indonesia untuk menggagas proyek PSEL melalui mekanisme tender terbuka patut dibaca sebagai langkah konkret mencari solusi atas persoalan sampah perkotaan. Inisiatif ini diharapkan memperkuat ekonomi sirkular, mendukung transisi energi, serta berkontribusi pada pencapaian target Net Zero Emission 2060.

Dengan tata kelola yang tepat, PSEL dapat menjadi instrumen kebijakan yang tidak hanya menahan laju krisis lingkungan, tetapi juga memperkuat ketahanan energi dan fondasi pembangunan berkelanjutan.

Pada akhirnya, PSEL layak dipandang sebagai langkah tegas negara menghadapi krisis sampah yang telah lama dibiarkan tumbuh tanpa kendali. Ia bukan garis akhir, melainkan titik awal. Dengan komitmen pemerintah untuk memastikan tata kelola yang transparan dan integrasi dengan pembenahan hulu, Indonesia memiliki peluang nyata untuk keluar dari jebakan krisis sampah dan membangun sistem pengelolaan yang lebih modern, berkelanjutan, dan berkeadilan.

Kini saatnya pemerintah melangkah konsisten dan berani agar PSEL benar-benar menjadi fondasi solusi jangka panjang bagi lingkungan, energi, dan masa depan pembangunan nasional.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |