Profesor Ramalkan Kekacauan Amerika: "Ini Baru Awal"

1 day ago 6

Jakarta, CNBC Indonesia - Lima belas tahun lalu, di tengah masa jabatan pertama Presiden Barack Obama, seorang profesor Universitas Connecticut, Peter Turchin, mengeluarkan peringatan yang kini terasa sangat relevan. Menurutnya "Amerika Serikat sedang menuju dekade ketidakstabilan politik".

Hal ini sepertinya bukan bualan belaka. Kini, di masa jabatan kedua Presiden AS Donald Trump, ramalan itu tampaknya jadi kenyataan, di mana ada  polarisasi yang kian dalam dan kepercayaan publik anjlok.


Bagaimana ceritanya?

Ini dimulai dari jurnal Nature tahun 2010. Turchin menggunakan pendekatan kuantitatif untuk meramalkan lonjakan kerusuhan di sekitar tahun 2020-an.

Hal ini didorong oleh kesenjangan ekonomi, "kelebihan elit", dan utang negara yang menumpuk. Analisis itu menggunakan teori Struktural-Demografi (SDT), yang memetakan hubungan antara ketimpangan sosial, perebutan kekuasaan elite, dan kapasitas negara dalam menjaga stabilitas.

"Model ini bukan ramalan, melainkan analisis siklus historis yang berulang secara teratur," kata Turchin dalam wawancara dengan Newsweek, dikutip Selasa (10/6/2025).

Turchin mencatat bahwa kekerasan politik cenderung muncul setiap 50 tahun, yakni tahun 1870, 1920, 1970, dan 2020. Alasannya, karena "generasi baru melupakan pelajaran masa lalu".

Elit Bertambah, Peluang Menyempit

Salah satu fokus Turchin adalah "kelebihan produksi elit". Ini ditujukkan ke mereka terutama yang terdidik, ambisius, tapi tidak mendapat tempat di lingkaran kekuasaan.

Ia menyoroti dampak kecerdasan buatan yang mulai menggantikan pekerjaan profesional. Pemangkasan besar-besaran di lembaga pemerintah juga diperlihatkan seperti pemecatan staf-staf di lembaga AS yang memberikan bantuan luar negeri sipil dan bantuan pembangunan, USAID.

Fenomena ini juga diamini oleh sosiolog Jukka Savolainen dari Wayne State University. Ia menyebut AS tengah menciptakan "kelas pengetahuan" yang frustrasi dan berpotensi radikal.

"Mereka terlatih berpikir kritis, tetapi tidak mendapat tempat di sistem. Mereka mulai menantangnya," tulis Savolainen di Wall Street Journal (WSJ).

Amerika dalam 'Situasi Revolusioner'

Turchin menyebut AS kini berada dalam "situasi revolusioner". kondisi AS, tegasnya, rapuh dan tidak bisa lagi ditahan oleh lembaga formal.

Dalam buletin Cliodynamica, ia menulis bahwa sejarah "melaju cepat" setelah 2020, ditandai oleh pandemi, protes George Floyd, hingga kerusuhan Capitol. Meski banyak yang berharap situasi membaik setelah kekalahan Trump pada 2020, Turchin tidak sependapat.

"Penyebab struktural kekacauan masih ada: pompa kekayaan, kemiskinan massa, dan konflik antarelite," ujarnya.

"Amerika akan memilih antara revolusi besar atau perbaikan struktural oleh elite. Sejauh ini, arah perbaikannya belum terlihat," tegasnya.


(sef/sef)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Belum Setahun, Utang Pemerintah AS Tembus Rp 17.000 Triliun

Next Article Demo Besar-besaran Jelang Trump Dilantik, 50.000 Orang Turun ke Jalan

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |