Jakarta -
Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima sejumlah permohonan uji materi. Alasannya, MK menilai permohonan mereka tidak memiliki kedudukan hukum dan tidak jelas.
"Mengadili, menyatakan permohonan para pemohon 161/PUU-XXIII/2025, 165/PUU-XXIII/2025, 163/PUU-XXIII/2025, 166/PUU-XXIII/2025, tidak dapat diterima," ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang penetapan di gedung MK, Kamis (16/10/2025).
Perkara-perkara itu antara lain Perkara 161/PUU-XXIII/2025 menggugat UU Kesehatan, 165/PUU-XXIII/2025 menggugat UU ASN, 163/PUU-XXIII/2025 menggugat UU Tipikor, dan 166/PUU-XXIII/2025 menggugat UU Partai Politik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemohon yang mengajukan gugatan terhadap UU Tipikor adalah Emir Zullarwan Pohan. Dia menguji Pasal 21 UU Tipikor. Pemohon menilai Pasal 21 UU Tipikor pasal karet dan multifasir tidak sesuai dengan prinsip peraturan UU dan bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon juga meminta Pasal 21 dinyatakan bertentangan dengan UUD dan meminta pasal itu dinyatakan tidak berlaku atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah menilai permohonan para Pemohon prematur karena dalam petitumnya para pemohon memohon kepada MK untuk memaknai Pasal 21 UU Tipikor sebagaimana pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang belum berlaku.
"Tidak terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan permohonan para Pemohon adalah prematur," kata hakim.
Dalam petitumnya, para pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 21 UU Tipikor bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana ketentuan pidana yang diatur pada Pasal 278, Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 284, Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, Pasal 296, dan Pasal 299 dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Sedangkan UU 1/2023 baru berlaku mulai 2 Januari 2026 setelah masa transisi tiga tahun sejak diundangkan pada 2 Januari 2023.
Hakim mengatakan, apabila pasal-pasal dalam UU 1/2023 yang menjadi sandaran pemaknaan para pemohon telah dinyatakan konstitusionalitasnya oleh MK, sama halnya dengan MK membenarkan berlakunya dua KUHP, yaitu KUHP yang masih berlaku dan KUHP yang akan berlaku dalam waktu yang bersamaan. Menurut dia, jika hal tersebut dibenarkan, justru akan menimbulkan ambiguitas dan ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum pidana.
Terkait gugatan mengenai UU Kesehatan, UU ASN, dan UU Partai Politik, MK menyatakan gugatan pemohon tidak jelas atau kabur dan tidak memiliki kedudukan hukum. Maka MK tidak mempertimbangkan permohonan mereka.
(zap/dhn)