Jakarta, CNBC Indonesia - Ternyata ada seorang menteri di kabinet pemerintahan Indonesia yang menjadi korban penculikan dan keberadaanya kini masih misteri. Sosok itu adalah Otto Iskandar Dinata atau Otista.
Publik masa kini mengenalnya sebagai pahlawan nasional yang namanya diabadikan menjadi jalan utama di berbagai kota, sekaligus tokoh yang wajahnya terpampang pada uang pecahan Rp20 ribu. Namun, di balik kepopuleran namanya, tak banyak yang mengetahui bahwa akhir hidup Otista berlangsung tragis dan penuh tanda tanya.
Hidup menteri pada era Presiden Soekarno itu berakhir ketika terjadi peristiwa penculikan yang tak pernah terungkap secara tuntas. Sejak saat itu, keberadaannya tidak pernah diketahui. Karena tak ada kepastian mengenai nasibnya, pemerintah akhirnya menetapkan 20 Desember 1945, tepat hari ini 80 tahun lalu, sebagai tanggal wafatnya.
Hingga hari ini, kematian Otto Iskandar Dinata masih menjadi salah satu misteri besar dalam sejarah Indonesia.
Menteri yang Diculik
Otto Iskandar Dinata merupakan tokoh penting dalam sejarah pergerakan nasional dan perjuangan kemerdekaan. Menurut buku Si Jalak Harupat, Biografi Otto Iskandardinata (2003), pada dekade 1920-an, dia aktif di organisasi Boedi Oetomo. Menjelang kemerdekaan Indonesia, Otto terlibat langsung dalam proses politik dengan menjadi anggota Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) serta Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno menunjuk Otto sebagai Menteri Negara. Penunjukan itu bukan tanpa alasan. Soekarno menaruh kepercayaan besar kepada Otto untuk menangani persoalan keamanan negara yang saat itu masih sangat rapuh.
Kala itu, Indonesia belum memiliki angkatan bersenjata yang terorganisasi dengan baik. Otto diberi tugas membentuk kekuatan militer nasional. Namun, tugas tersebut penuh tantangan. Beragam kelompok bersenjata memiliki latar belakang berbeda-beda. Mulai dari bekas anggota PETA dan Heiho bentukan Jepang, hingga mantan prajurit KNIL peninggalan Belanda.
Perbedaan latar belakang ini memicu ego sektoral yang kuat. Banyak kelompok menolak untuk dilebur dalam satu komando. Sebagian bahkan memilih membentuk organisasi sendiri dan menentang pemerintah pusat, termasuk dengan cara-cara yang lebih keras dalam memperjuangkan kemerdekaan. Konflik inilah yang kelak menjadi awal petaka bagi Otto.
Pada 19 Desember 1945, Otto Iskandar Dinata diculik oleh sebuah kelompok bersenjata di Tangerang yang dikenal dengan nama Laskar Hitam. Dia dibawa menuju wilayah pesisir Pantai Mauk. Sejak saat itu, Otto dinyatakan menghilang tanpa jejak.
Menurut Iip D. Yahya dalam buku Oto Iskandar di Nata: The Untold Stories (2017), penculikan tersebut dipicu oleh desas-desus yang disebarkan agen-agen NICA. Otto dituduh sebagai mata-mata Belanda. Isu ini diduga sengaja diciptakan untuk menyingkirkan tokoh-tokoh yang dianggap menghambat persatuan Indonesia.
Kabar burung di Laskar Hitam menyebutkan Otto menguasai uang sebesar satu juta gulden Belanda. Tuduhan ini kemudian digunakan untuk memperkuat narasi Otto berpihak pada Belanda. Padahal, menurut Iip, uang tersebut berasal dari rampasan perang Jepang yang memang berbentuk gulden Belanda dan seharusnya tidak diketahui oleh masyarakat sipil. Hal ini memunculkan dugaan adanya pihak tertentu yang sengaja membocorkan informasi tersebut.
Sejak peristiwa penculikan itu, keberadaan Otto Iskandar Dinata tak pernah diketahui. Dia diduga kuat telah dibunuh dan mayatnya ditaruh di lautan. Pemerintah kemudian menetapkan 20 Desember 1945 sebagai tanggal kematiannya, bertepatan dengan hari hilangnya sang menteri.
Tujuh tahun berselang, pemerintah menggelar pemakaman simbolis di Bandung. Peti jenazah yang dikuburkan tidak berisi jasad Otto, melainkan pasir dan air laut. Lokasi peti jenazah itu berada di Monumen Pasir Pahlawan, Kota Bandung.
(mfa/luc)


















































