Gelson Kurniawan, CNBC Indonesia
21 December 2025 09:00
Jakarta, CNBC Indonesia- Wilayah Jepang kembali menjadi sorotan dunia setelah gempa berkekuatan 7,5 magnitudo mengguncang lepas pantai Aomori pada Senin malam, 8 Desember 2025. Peristiwa ini sempat memicu peringatan tsunami dan memaksa ribuan warga mengungsi ke dataran tinggi.
Meskipun guncangannya cukup kuat hingga mencapai level yang membuat orang sulit berdiri, kerusakan yang timbul relatif dapat dikendalikan dan tidak menimbulkan korban jiwa massal seperti yang dikhawatirkan banyak pihak.
Respons cepat dan infrastruktur yang kokoh di Aomori membuktikan betapa siapnya Jepang menghadapi bencana rutin ini. Namun, bagi pemerintah pusat di Tokyo, gempa Aomori seolah menjadi pengingat serius mengenai ancaman lain yang jauh lebih besar.
Baru-baru ini, sebuah laporan resmi pemerintah dirilis untuk memperbarui prediksi mengenai dampak gempa besar yang berpotensi melanda ibu kota Tokyo, sebuah skenario yang probabilitasnya mencapai 70% dalam 30 tahun ke depan.
Skenario Jika Tokyo Berguncang
Laporan tersebut memaparkan perkiraan situasi jika gempa bermagnitudo 7 menghantam bagian selatan Tokyo. Dalam skenario terburuk yang terjadi pada sore hari di musim dingin dengan angin kencang, pemerintah memproyeksikan sekitar 18.000 orang bisa kehilangan nyawa.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah penyebab utama kematian bukanlah karena tertimpa bangunan, melainkan akibat kebakaran hebat yang menyusul gempa.
Diperkirakan 12.000 korban jiwa akan jatuh akibat api yang merambat cepat di permukiman padat kayu, sementara 5.300 lainnya akibat reruntuhan gedung.
Selain korban jiwa langsung, untuk pertama kalinya pemerintah juga menghitung potensi "kematian tidak langsung". Istilah ini merujuk pada orang-orang yang meninggal pasca-gempa akibat memburuknya penyakit bawaan, stres, atau kondisi sanitasi yang buruk di tempat pengungsian.
Jumlahnya diperkirakan sangat signifikan, berkisar antara 16.000 hingga 41.000 orang, tergantung seberapa cepat layanan listrik dan air bersih dapat dipulihkan.
Dampak ekonominya pun diprediksi sangat masif. Kerusakan fisik dan terhentinya aktivitas bisnis di pusat pemerintahan Jepang ini diperkirakan menelan biaya hingga ¥83 triliun atau sekitar US$ 532 miliar.
Angka ini menggambarkan betapa lumpuhnya fungsi sentral negara, mengingat jutaan orang juga diprediksi akan terjebak di ibu kota karena transportasi umum yang mati total, memaksa mereka memadati tempat-tempat pengungsian hingga berminggu-minggu.
Rekam Jejak Gempa Tiga Dekade Terakhir
Kekhawatiran pemerintah Jepang bukan tanpa alasan. Negara ini berdiri di atas "Cincin Api Pasifik", sebuah jalur seismik paling aktif di dunia. Gempa Aomori hanyalah satu dari ribuan gempa yang terjadi setiap tahunnya.
Untuk melihat pola aktivitas seismik yang melanda Jepang dan bagaimana mereka bertahan, kita bisa melihat data gempa signifikan dengan kekuatan di atas 7 Skala Richter (SR) dalam 30 tahun terakhir di bawah ini:
Pelajaran Mahal dari Masa Lalu
Data dalam tabel di atas bukan sekadar angka statistik, melainkan catatan sejarah yang mengubah wajah mitigasi bencana di Jepang. Gempa Tohoku pada tahun 2011, misalnya, menjadi titik balik terbesar.
Dengan kekuatan 9,1 SR, gempa tersebut memicu tsunami raksasa dan krisis nuklir di Fukushima yang menewaskan hampir 20.000 orang. Peristiwa itu mendorong Jepang melakukan evaluasi total terhadap perlindungan wilayah pesisir dan keamanan energi mereka.
Mundur lebih jauh ke belakang, Gempa Hanshin-Awaji yang menghancurkan Kobe pada tahun 1995 juga memberikan pelajaran berharga. Saat itu, infrastruktur kota modern luluh lantak dan menewaskan lebih dari 6.000 orang.
Tragedi inilah yang melahirkan standar bangunan anti-gempa yang sangat ketat yang kita lihat di Jepang hari ini, serta perbaikan sistem respons darurat yang lebih terintegrasi.
Bahkan gempa di Semenanjung Noto pada awal tahun 2024 memberikan tantangan baru berupa fenomena gempa beruntun dan longsor yang mengisolasi desa-desa terpencil.
Setiap kejadian memberikan data baru bagi para ilmuwan untuk menyempurnakan prediksi dan strategi penyelamatan.
Harapan di Tengah Ancaman
Meskipun prediksi mengenai gempa Tokyo terdengar menakutkan, ada sisi positif yang patut dicatat. Laporan terbaru pemerintah menunjukkan bahwa estimasi kerusakan dan korban jiwa sebenarnya telah menurun dibandingkan prediksi tahun 2013.
Penurunan risiko ini terjadi berkat kemajuan teknologi dan perubahan pola hidup masyarakat.
Salah satu inovasi penting adalah pemasangan pemutus sirkuit seismik di banyak gedung. Alat ini secara otomatis memutus aliran listrik begitu mendeteksi getaran gempa, sehingga mencegah terjadinya korsleting yang bisa memicu kebakaran.
Selain itu, gaya hidup masyarakat yang kini lebih sedikit menggunakan api terbuka dan penurunan jumlah perokok juga berkontribusi pada berkurangnya risiko kebakaran besar pasca-gempa.
Pada akhirnya, gempa Aomori di penghujung tahun 2025 ini menjadi bukti bahwa kesiapan infrastruktur dan kedisiplinan warga adalah kunci utama keselamatan.
Sambil terus memantau aktivitas lempeng bumi, pemerintah Jepang berharap persiapan yang matang dapat menekan dampak bencana seminimal mungkin, mengubah skenario terburuk menjadi situasi yang masih bisa dikendalikan.
-
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(gls/gls)


















































