James Riady Blak-blakan 2026 Bukan Tahun Mudah

2 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin Indonesia) James Riady buka-bukaan tentang pandangannya dalam menghadapi kondisi ekonomi pada 2026, dan kesiapan Indonesia mengantisipasi tekanan global.

James menganggap, 2026 merupakan tahun yang tidak akan lebih mudah dari 2026. Dia bahkan mengistilahkan akan ada badai yang bisa mengganggu aktivitas ekonomi, setelah tekanan hebat pada 2025 akibat fragmentasi negara-negara di dunia hingga konflik bersenjata yang terus meluas di berbagai kawasan.

"Kita harus realistis, namun tetap optimistis memasuki tahun 2026. Kita harus jujur, 2026 tidak akan menjadi tahun yang mudah bagi ekonomi global," kata James dikutip dari siaran pers Kadin Indonesia, Senin (15/12/2025).

"Akan ada badai-sebagian sudah terlihat, sebagian masih muncul di balik horizon. Namun, Indonesia tidak memasuki tahun itu dengan tangan kosong. Indonesia memasuki tahun 2026 dengan modal yang cukup," tegasnya.

James mengatakan, menjelang akhir 2025 kondisi global justru menampilkan wajah yang sulit dan tidak menentu. Ia menilai, menjelang tutup tahun, dunia berada dalam kondisi yang sangat rapuh dan memasuki era yang paling tidak terduga dalam beberapa dekade.

Menurut James, ada tiga indikasi yang menggambarkan tantangan itu, yakni kompetisi negara besar semakin tajam, aliansi global yang bergeser, dan konflik yang sebelumnya regional kini berpotensi meluas.

Ia menyebut lembaga-lembaga dunia seperti IMF, World Bank, ECB, dan OECD juga telah menggambarkan ekonomi global dengan sebutan melambat, terfragmentasi, dan sedang mengalami transformasi besar.

Didasari pada indikasi perdagangan dunia yang melemah, rantai pasok yang direstrukturisasi demi keamanan dan bukan lagi sekadar efisiensi, utang publik di banyak negara berada pada titik tertinggi, serta perlombaan teknologi yang bergerak lebih cepat daripada kemampuan regulasi yang terseok-seok mengikutinya.

James juga mengatakan, secara finansial, kerentanan baru muncul. Pertama, banyak aset berada di posisi rentan karena valuasinya telah naik terlalu cepat dalam beberapa tahun terakhir, sehingga sensitif terhadap kenaikan suku bunga, perlambatan ekonomi, atau koreksi pasar global.

Kedua, sistem perbankan di beberapa negara belum pulih sepenuhnya karena masih membawa tekanan dari kredit bermasalah, kerugian portofolio akibat suku bunga tinggi, dan lemahnya kepercayaan pasar, sehingga guncangan kecil pun dapat memperbesar risiko instabilitas keuangan. Serta, yang ketiga, era suku bunga "lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama" menjadi tekanan nyata bagi dunia usaha menjelang 2026.

Diperkeruh dengan kondisi sosial secara glbal yang ia sebut makin menunjukkan peningkatan polarisasi. Kondisi itu kata James akan terjadi pada 2026 di tengah periode tahun pemilu negara-negara kunci, mulai dari pemilu sela di Amerika Serikat, pemilu umum di Brasil, pemilu nasional di Bangladesh, hingga pemilu penting di beberapa negara Eropa yang semuanya dapat membawa dampak besar bagi pasar dan stabilitas global.

Jika disatukan semuanya, James berpandangan 2026 berpotensi menjadi tahun banyak hal dapat berjalan salah arah: pertama, perlambatan ekonomi global yang lebih tajam; kedua, proteksionisme dan pembatasan ekspor yang meningkat; ketiga, ketidakstabilan energi; keempat, konflik berkepanjangan dengan dampak ekonomi besar; dan kelima, disrupsi teknologi yang melampaui kemampuan adaptasi.

"Inilah realitas dunia yang sedang kita hadapi," papar James. "Jika 2025 adalah tahun penyesuaian dan transisi, maka 2026 bisa menjadi tahun antisipasi dan
tahun keberanian," tegasnya.

Meski global penuh dengan tantangan yang bisa menekan aktivitas ekonomi, James menganggap Indonesia justru memiliki modal untuk melaluinya. Ia menyebutkan setidaknya ada lima faktor yang bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk menghadapi tekanan ekonomi global.

Pertama, transisi politik Indonesia berjalan stabil. Dunia luar melihat politik Indonesia menunjukkan kesinambungan, kejelasan, dan prediktabilitas-sesuatu yang semakin langka saat ini.

Kedua, fundamental makro tetap solid: inflasi terkendali, disiplin fiskal terjaga, konsumsi domestik kuat, komposisi demografi yang didominasi usia produktif, serta nilai tukar yang relatif tangguh dibanding banyak emerging market lainnya.

Ketiga, Indonesia sedang menjalani dekade infrastruktur terbesar dalam sejarah. Indonesia membangun pelabuhan, jalan, kawasan industri, energi, logistik, serta ibu kota baru. Semuanya meningkatkan daya saing negara secara nyata.

Keempat, fokus Presiden pada ketahanan pangan, hilirisasi, kesehatan, pertahanan, serta pembangunan jembatan dan infrastruktur konektivitas memberikan arah nasional yang jelas.

Kelima, Indonesia memiliki kombinasi langka, yakni stabilitas politik, kekuatan demografi, sumber daya alam, percepatan digital, dan basis manufaktur yang terus tumbuh. Dalam dunia yang terfragmentasi, Indonesia justru semakin menarik.

(arj/arj)
[Gambas:Video CNBC]

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |