Jakarta, CNBC Indonesia - Iran diperkirakan akan secara resmi menolak proposal terbaru dari Amerika Serikat terkait penyelesaian sengketa nuklir yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Seorang diplomat senior Iran yang dekat dengan tim negosiasi menyebut tawaran tersebut sebagai "non-starter", atau titik awal yang gagal, karena dinilai tidak mengakomodasi kepentingan Iran dan tidak mencerminkan pelunakan sikap Washington terhadap isu pengayaan uranium.
"Iran sedang menyusun tanggapan negatif terhadap proposal AS, yang dapat diartikan sebagai penolakan," ujar diplomat tersebut kepada Reuters, Senin (2/6/2025).
Proposal dari Washington itu disampaikan melalui Menteri Luar Negeri Oman, Sayyid Badr Albusaidi, yang mengunjungi Teheran dalam kapasitasnya sebagai mediator pembicaraan antara Iran dan Amerika Serikat.
Proposal nuklir terbaru ini datang setelah lima putaran pembicaraan antara Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi dan utusan Timur Tengah Presiden AS Donald Trump, Steve Witkoff. Namun, sejumlah hambatan utama masih belum teratasi.
Iran secara tegas menolak permintaan AS untuk menghentikan program pengayaan uranium dan menolak mengirimkan seluruh persediaan uranium yang telah diperkaya ke luar negeri, bahan baku potensial untuk senjata nuklir.
"Dalam proposal ini, posisi AS terkait pengayaan uranium di tanah Iran tidak berubah, dan tidak ada penjelasan jelas mengenai pencabutan sanksi," kata diplomat Iran tersebut, yang berbicara tanpa menyebut nama karena sensitivitas isu tersebut.
Araqchi menyatakan bahwa Teheran akan menyampaikan tanggapan resmi dalam waktu dekat. Iran menuntut pencabutan segera seluruh sanksi yang diberlakukan oleh AS dan berdampak besar terhadap ekonomi nasional yang berbasis minyak.
Namun, pihak AS hanya bersedia mencabut sanksi terkait nuklir secara bertahap.
Sejak 2018, puluhan lembaga penting dalam perekonomian Iran, termasuk bank sentral dan Perusahaan Minyak Nasional Iran, masuk dalam daftar hitam sanksi AS karena dituduh mendukung terorisme dan proliferasi senjata.
Adapun kebijakan "tekanan maksimum" kembali digencarkan oleh Presiden Trump sejak kembali menjabat pada Januari, termasuk pengetatan sanksi dan ancaman aksi militer jika negosiasi tidak menghasilkan kesepakatan.
Selama masa jabatan pertamanya pada 2018, Trump menarik AS keluar dari perjanjian nuklir 2015 dan kembali memberlakukan sanksi yang melumpuhkan ekonomi Iran. Sebagai respons, Iran meningkatkan pengayaan uranium secara signifikan melampaui batas kesepakatan.
Menurut penilaian Komite Negosiasi Nuklir Iran di bawah pengawasan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, proposal AS dianggap "sepenuhnya sepihak" dan tidak dapat memenuhi kepentingan nasional Iran.
"Teheran menganggap proposal ini sebagai upaya sepihak untuk memaksakan kesepakatan buruk melalui tuntutan berlebihan," tegas diplomat tersebut.
Kebuntuan dalam negosiasi ini memperparah ketegangan di kawasan Timur Tengah. Pemerintah AS menekankan bahwa tujuan mereka adalah untuk membatasi potensi Iran mengembangkan senjata nuklir yang dapat memicu perlombaan senjata dan membahayakan keamanan sekutu, khususnya Israel, yang menganggap program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial.
Sementara itu, para pemimpin Iran bersikeras bahwa tujuan nuklir mereka sepenuhnya damai dan digunakan untuk keperluan energi dan penelitian medis. Meski begitu, Iran menyatakan bersedia menerima pembatasan tertentu dalam program pengayaan, asalkan disertai jaminan mutlak bahwa Washington tidak akan kembali mengingkari perjanjian seperti yang terjadi pada 2018.
Dua pejabat Iran mengatakan kepada Reuters pekan lalu bahwa Teheran dapat mempertimbangkan penghentian sementara pengayaan uranium apabila AS bersedia membebaskan dana Iran yang dibekukan dan mengakui hak Iran atas pengayaan uranium untuk tujuan sipil sebagai bagian dari kesepakatan politik menuju perjanjian yang lebih luas.
Dalam konferensi pers bersama dengan Menteri Luar Negeri Mesir di Kairo, Abbas Araqchi juga menyinggung kemungkinan serangan Israel. "Saya tidak berpikir Israel akan melakukan kesalahan sebesar itu dengan menyerang Iran," ujarnya.
Tekanan tidak hanya datang dari Washington. Pada April lalu, Menteri Pertahanan Arab Saudi mengirim pesan tegas kepada Teheran agar mempertimbangkan dengan serius tawaran terbaru AS guna menghindari risiko konflik militer dengan Israel.
Namun, di sisi lain, pengaruh regional Iran kini menurun, seiring dengan kemunduran militer kelompok poros perlawanan (Axis of Resistance) yang selama ini menjadi sekutu Iran, seperti Hamas, Hizbullah, Houthi di Yaman, dan milisi Syiah di Irak.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Iran Tolak Mentah-Mentah Syarat AS Soal Nuklir
Next Article AS-Iran 'Empat Mata' Bahas Nuklir, Trump Ultimatum Serbu Teheran