Emiten Farmasi RI Terbelah Jadi Dua Kasta: Siapa si Kaya vs Miskin?

3 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Musim laporan keuangan Kuartal III-2025 (Januari-September) telah berakhir, menyingkap realita baru di sektor kesehatan Indonesia. Narasi saham defensif yang biasanya bergerak seragam kini tidak lagi berlaku.

Tahun 2025 menciptakan divergensi atau pemisahan nasib yang ekstrem antara emiten dengan cash cow melawan emiten dengan beban utang tinggi (High Leverage).

Di satu sisi, perusahaan dengan efisiensi tinggi semakin kokoh mencetak laba. Di sisi lain, perusahaan yang agresif berutang harus membayar mahal akibat beban bunga yang menggerus profitabilitas, meskipun pendapatan terlihat naik.

Analisis ini membedah kinerja lima emiten farmasi terbesar di Bursa Efek Indonesia yaitu PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO), PT Tempo Scan Pacific Tbk (TSPC), PT Kimia Farma Tbk (KAEF), dan PT Pyridam Farma Tbk (PYFA).

Papan Skor Kinerja: Pertumbuhan dan Profitabilitas Januari-September 2025

Data per 30 September 2025 menunjukkan perbedaan kualitas pertumbuhan yang mencolok. SIDO dan KLBF memimpin dari sisi kualitas laba, sementara KAEF dan PYFA masih bergulat di zona merah.

Bedah Kinerja Fundamental

Berikut adalah rincian faktor pendorong kinerja masing-masing emiten pada periode Januari-SeptemberJanuari-September:

1. KLBF, Motor Pertumbuhan Organik
Kalbe Farma mencatatkan kualitas pertumbuhan paling solid dengan kenaikan laba bersih 10,6% (Rp 2,63 triliun).

Kinerja ini didorong oleh strategi diversifikasi pasar yang efektif; lonjakan ekspor sebesar 40,2% dan pertumbuhan segmen obat resep sebesar 11,0% berhasil mengompensasi penurunan 2,1% pada segmen nutrisi yang terdampak pelemahan daya beli kelas menengah.

2. SIDO, Raja Efisiensi Mutlak
 Sido Muncul mencatatkan net profit margin sebesar 30,0%, angka tertinggi di industri farmasi nasional.

Dari setiap Rp 1.000 penjualan, perseroan mampu mengamankan Rp 300 sebagai laba bersih. Tanpa beban utang berbunga, struktur biaya SIDO menjadi yang paling efisien dan tahan banting terhadap fluktuasi ekonomi.

3. TSPC, Stabilitas di Tengah Stagnasi

Meskipun pendapatan terkoreksi tipis 0,16%, Tempo Scan Pacific mampu mempertahankan margin laba bersih di level sehat 11,9% dengan total laba Rp 1,2 triliun.

Hal ini menunjukkan ketahaanan pangsa pasar market leader seperti Bodrex dan Marina, serta kedisiplinan manajemen dalam menjaga efisiensi biaya operasional di tengah bisnis distribusi yang bermargin tipis.

4. KAEF, Sinyal Perbaikan di Tengah Kontraksi
Kendati pendapatan turun 10,9% akibat penutupan gerai apotek yang tidak produktif, Kimia Farma berhasil memangkas kerugian secara signifikan.

Rugi bersih menyusut 57,5% dari Rp 550 miliar pada periode sama tahun lalu menjadi Rp 234 miliar, menandakan langkah efisiensi dan restrukturisasi operasional mulai membuahkan hasil awal.

5. PYFA, Pertumbuhan Semu Berbiaya Mahal
Pyridam mencatat lonjakan pendapatan tertinggi sebesar 77,3% secara year-on-year.

Namun, kenaikan ini adalah hasil konsolidasi akuisisi anorganik (Probiotec Australia). Beban bunga pinjaman jumbo untuk mendanai akuisisi tersebut menggerus profitabilitas, menyebabkan rugi bersih perseroan membengkak 34,2% menjadi Rp 306 miliar.

Adu Kekuatan Neraca: Risiko Solvabilitas

Dalam lingkungan suku bunga yang masih relatif moderat ke tinggi, neraca keuangan menjadi indikator vital ketahanan perusahaan. Rasio Debt to Equity digunakan untuk mengukur risiko solvabilitas.

Data menunjukkan posisi SIDO yang superior dengan utang berbunga nol (Zero Debt). Sebaliknya, PYFA berada dalam posisi kritis dengan rasio utang terhadap modal mencapai 8,4x, jauh di atas batas aman industri yang umumnya berada di kisaran 1 hingga 2 kali. Kondisi ini meningkatkan risiko dilusi saham atau gagal bayar di masa depan.

Perbandingan Valuasi Harga dan Kinerja

1. TSPC, Diskon Besar untuk Arus Kas Stabil
Pasar saat ini menghargai TSPC dengan diskon yang dalam. Rasio EV/EBITDA 4,8 kali menyiratkan bahwa investor hanya membayar kurang dari 5 tahun arus kas operasional perusahaan untuk memilikinya.

Valuasi ini mencerminkan pesimisme pasar terhadap bisnis distribusi yang marginnya tipis, namun menjadi peluang bagi value investor mengingat stabilitas laba bersihnya.

2. SIDO, Premi Kualitas dan Dividen

Meskipun memiliki PBV 5,0 kali yang tampak tinggi, valuasi ini dinilai wajar untuk perusahaan dengan karakteristik Cash Cow. Investor bersedia membayar premi karena SIDO menawarkan Return on Equity (ROE) yang tinggi, neraca tanpa utang, dan kepastian pembagian dividen rutin. SIDO diperlakukan pasar sebagai aset safe haven.

3. KLBF, Premi Pertumbuhan (Growth Premium)

Valuasi PER 16,0 kali pada KLBF merefleksikan ekspektasi pasar terhadap pertumbuhan masa depan.

Berbeda dengan SIDO yang dibeli untuk stabilitas, KLBF dibeli untuk ekspansi. Investor menghargai strategi "Go Global" (ekspor) dan investasi jangka panjang pada pabrik baru serta bioteknologi, yang dianggap sebagai mesin pertumbuhan laba di masa depan.

4. KAEF, Valuasi Semu

PBV 1,0 kali pada KAEF sering disalahartikan sebagai murah. Namun, dalam konteks perusahaan yang merugi dan terbebani utang, ekuitas berisiko terus tergerus. Valuasi ini lebih mencerminkan ketidakpastian pasar terhadap keberhasilan restrukturisasi utang BUMN tersebut. Seperti membeli rumah seharga material bangunannya, namun pondasinya sedang amblas perlahan akibat beban kerusakan struktur yang parah.

5. PYFA, Gelembung Ekspektasi

Valuasi PYFA saat ini telah terlepas dari fundamental. Harga pasar 8,2 kali nilai buku (PBV) untuk perusahaan yang rugi besar dan memiliki ekuitas tipis adalah fenomena spekulatif.

Pasar bertaruh sepenuhnya pada kesuksesan akuisisi masa depan, mengabaikan risiko solvabilitas yang nyata di depan mata. Ibarat membeli restoran yang ramai pengunjung, namun seluruh uang kasirnya habis seketika hanya untuk membayar cicilan utang bank.

Cermin Perilaku Konsumen Indonesia

1. KLBF
 
Kinerja Kalbe memotret prioritas ganda masyarakat. Segmen obat resep tumbuh 11% karena biaya kesehatan adalah kebutuhan wajib yang tak bisa ditawar. Sebaliknya, segmen nutrisi turun 2,1%, menandakan kelas menengah mulai berhemat dengan meninggalkan susu premium dan beralih ke merek yang lebih murah (down-trading).

2. SIDO
 Sido Muncul diuntungkan oleh peralihan ke produk terjangkau. Pertumbuhan segmen Makanan & Minuman sebesar 4,4% didorong oleh pekerja yang beralih ke suplemen energi sachet murah (Rp 1.500-an) untuk menjaga stamina. Konsumen memilih solusi herbal preventif yang ramah di kantong dibandingkan biaya pengobatan klinik yang mahal.

3. TSPC
Tempo Scan menunjukkan dua sisi berbeda. Produk obat sakit kepala (Bodrex) tetap stabil berkat loyalitas merek yang kuat dan sulit digeser. Namun, segmen kosmetik tertekan, mengindikasikan konsumen kategori ini sangat sensitif harga dan mudah beralih ke produk impor murah atau brand viral yang membanjiri pasar.

4. KAEF
Penurunan pendapatan ritel 10,9% mencerminkan perubahan gaya belanja. Penutupan gerai fisik mengindikasikan traffic offline store yang menurun.

Konsumen kini semakin rasional dan selektif, cenderung membandingkan harga secara digital atau beralih ke layanan kesehatan yang lebih efisien, memaksa apotek fisik yang sepi pengunjung untuk tutup.

5. PYFA
Di luar akuisisi, bisnis inti obat generik dan dermatologi menghadapi beberapa tantangan.

Tanpa kekuatan merek dominan, produk generik sulit bersaing memperebutkan market share. Belanja estetika (kulit) juga melambat, mencerminkan pengetatan anggaran kelas menengah yang memangkas pengeluaran sekunder demi memprioritaskan kebutuhan pokok.

Rekomendasi Strategis & Arah Investasi

Divergensi kinerja sektor farmasi Q3 2025 menuntut strategi investasi yang sangat selektif. Bagi investor konservatif, SIDO menjadi pilihan utama berkat keamanan neraca tanpa utang dan jaminan dividen dari arus kas yang kuat.

Untuk orientasi pertumbuhan jangka panjang, KLBF menawarkan prospek paling solid melalui ekspansi ekspor dan inisiatif bioteknologi. Di sisi lain, TSPC hadir sebagai opsi value investing terbaik karena valuasinya yang sangat terdiskon meski memiliki fundamental stabil.

Sebaliknya, investor disarankan menghindari PYFA dan KAEF untuk saat ini. Profil risiko kedua emiten ini dinilai terlalu tinggi akibat beban bunga utang yang masif dan arus kas operasional yang masih negatif, menghambat potensi pemulihan harga saham secara fundamental.

-

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(gls/gls)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |