Jakarta, CNBC Indonesia - Eskalasi antara Iran dan Israel masih terus terjadi. Meski belum mencapai konflik militer langsung di darat, keduanya masih intens mengobarkan serangan udara meski dipisahkan jarak hingga 1.000 km satu sama lain.
Sejumlah negara telah berkomentar terkait perang yang terjadi antara dua musuh bebuyutan Timur Tengah ini. Beberapa negara Arab seperti Qatar dan Oman bahkan telah mempersiapkan diri untuk menjadi mediator dan komunikator untuk mengurangi intensitas serangan.
Akan tetapi, ada satu negara Arab yang masih diam dan belum berkomentar atau menentukan sikap apapun soal eskalasi ini. Negara itu adalah Suriah, yang meski menjadi lintasan rudal kedua negara, belum bersuara.
Sejauh ini, sedikitnya satu warga sipil tewas dan beberapa lainnya terluka akibat puing-puing yang jatuh akibat proyektil yang dicegat. Walau begitu, Kementerian Luar Negeri Suriah tetap tidak menanggapi permintaan komentar tentang perang tersebut.
Analis politik Timur Tengah, Bassam Al Sulaeiman, menyebutkan bahwa eskalasi kali ini tidak menjadi fokus bagi Suriah, yang baru saja mengalami pergantian rezim pasca perang saudara yang panjang dan tumbangnya kekuasaan mantan presiden Bashar Al Assad. Menurutnya, Suriah saat ini masih fokus memulai pemulihan dan rekonstruksi ekonomi pascaperang.
"Damaskus menganut kebijakan kenetralan. Negara itu mencoba untuk sepenuhnya menjauhkan diri dari perang dan penyebutan apa pun tentangnya, karena Suriah tidak tertarik untuk terlibat," kata Suleiman, yang saat ini dekat dengan otoritas baru tersebut.
Warga yang Masih Muak
Iran merupakan salah satu pendukung terbesar mantan penguasa Bashar Al Assad, memainkan peran penting dalam menopang pemerintahannya dengan menyediakan penasihat militer dan dukungan bagi kelompok bersenjata yang berafiliasi selama perang saudara Suriah yang berlangsung selama 14 tahun.
Sementara itu, Israel telah menduduki Dataran Tinggi Golan sejak merebutnya dari Suriah pada tahun 1967. Tel Avivi telah menempatkan pasukan di zona penyangga yang dipatroli PBB di sana sejak Desember.
Namun, meskipun kedua negara tersebut berperan penting dalam urusan Suriah selama bertahun-tahun, Damaskus, dan warga Suriah pada umumnya, tampaknya ingin menjaga jarak dari krisis saat ini.
"Dari balkon saya pada malam hari, saya menyaksikan rudal yang menuju Israel dan sistem antirudal, dan saya mengamati ledakan di langit," kata dokter bedah Mohammed Khayr Al Jirudi.
"Masyarakat sudah muak dengan segala hal yang berhubungan dengan pembunuhan dan penghancuran, kami sudah muak. Oleh karena itu, saat ini kami hanya menjadi penonton bagi kedua belah pihak, dan tidak akan menertawakan salah satu dari mereka."
Pada Jumat pekan lalu, Israel meluncurkan kampanye yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Iran, dengan mengatakan bahwa hal itu bertujuan untuk menghentikan negara tersebut memperoleh bom nuklir. Tuduhan ini dibantah keras oleh Teheran.
Iran telah menanggapi dengan rentetan rudal balistik yang menargetkan kota-kota Israel, dengan baku tembak yang memicu kekhawatiran akan meluasnya konflik regional.
Tidak seperti kebanyakan negara Arab, yang mengeluarkan kecaman keras atas serangan Israel, pemerintah baru Suriah belum mengomentari perang tersebut, yang berpotensi menandakan perubahan dalam posisi regional negara tersebut.
"Sangat sulit bagi kami untuk mengambil sikap," tambah Jirudi, dengan banyak warga Suriah yang lelah perang tampaknya memiliki keengganan yang sama dengan pemerintah.
Dua Diktator
Duduk bersama istrinya di kafe Rawda yang terkenal di Damaskus, aktor berusia 42 tahun Ahmad Malas mengatakan ia berharap untuk "terbebas dari rezim Iran dan Israel, karena keduanya adalah sistem diktator (dan) rakyat Suriah telah membayar harga atas tindakan mereka".
Namun, ia menambahkan, "Saya memiliki hubungan emosional dengan rakyat Iran, dan dengan rakyat Palestina, karena perjuangan mereka telah menjadi perjuangan kita sejak lama".
Dukungan Iran terhadap Assad pada tahun 2011 menciptakan permusuhan yang kuat terhadap Teheran di antara banyak warga Suriah. Nampak ribuan warga Iran meninggalkan Suriah setelah jatuhnya Assad, dan kedutaan Teheran menjadi sasaran penjarahan dan vandalisme. Dinding-dinding di sekitar kedutaannya di Damaskus masih dihiasi slogan-slogan yang bertuliskan "kutuk Iran" dan "bebaskan Iran".
Sejak menjadi presiden sementara Suriah, mantan pemimpin pemberontak Ahmed Al Sharaa telah berulang kali mengkritik peran Iran di negaranya selama perang saudara, dengan menyatakan bahwa memulihkan hubungan dengan Teheran akan membutuhkan penghormatan terhadap "kedaulatan" Suriah dan "tidak mencampuri" urusannya. Iran mengatakan "tidak terburu-buru" untuk menjalin hubungan dengan otoritas Suriah yang baru.
Di sisi lain, Israel telah melakukan ratusan serangan terhadap Suriah sejak jatuhnya Assad. Tel Aviv mengatakan bahwa serangan itu bertujuan untuk menghentikan senjata canggih mencapai penguasa baru, yang dianggapnya sebagai jihadis.
Pasukan Israel di zona penyangga yang dipatroli PBB antara Suriah dan Dataran Tinggi Golan juga secara teratur melakukan serangan darat, yang dikutuk oleh Damaskus.
Suriah mengakui telah mengadakan pembicaraan tidak langsung dengan Israel untuk mencari de-eskalasi. Amerika Serikat telah menyerukan agar Suriah menormalisasi hubungan dengan tetangga selatannya itu.
(tps/tps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Gencatan Senjata Gaza Masih Berlaku, Israel Serang Negara Arab Ini