Jakarta -
Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno menjadi pembicara utama dalam sesi panel COP 30 Brazil di Paviliun Indonesia. Sesi ini mengusung tema 'Accelerating Sustainable Fuel-Focusing on Used Cooking Oil (UCO) and Its Potential to Be Sustainable Aviation Fuel (SAF)'.
Dalam pidatonya, Eddy menegaskan pengembangan SAF dari minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO) bukan hanya solusi lingkungan, tetapi juga strategi ekonomi dan energi nasional yang membawa Indonesia menjadi pemain utama di kawasan.
"Kita tidak sedang bicara proyek kecil atau sekadar uji coba. SAF adalah langkah konkret menuju kemandirian energi dan lompatan ekonomi hijau Indonesia," ujar Eddy dalam keterangannya, Kamis (13/11/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari dapur rumah tangga hingga bandara internasional, minyak jelantah yang dulu dianggap limbah kini bisa menjadi sumber energi bersih yang bernilai tinggi," sambungnya.
Eddy mengungkapkan Indonesia memiliki potensi hingga 715 ribu ton minyak jelantah per tahun, namun baru 23 persen yang terkumpul. Oleh karena itu, ia menegaskan pentingnya membangun sistem pengumpulan nasional agar seluruh rantai nilai - dari masyarakat, pemerintah daerah, hingga industri - bisa terhubung dan transparan.
"Tantangan kita bukan soal teknologi, menciptakan ekosistem pengumpulan minyak jelantah di rumah tangga, restoran, hotel yang terkoordinasi. Kita harus memastikan minyak jelantah tidak lagi dibuang, tetapi dikumpulkan, disertifikasi, dan diolah menjadi bahan bakar penerbangan masa depan," paparnya.
Eddy menambahkan, lewat ekspansi green refinery Pertamina di Cilacap dan Plaju, Indonesia menargetkan produksi lebih dari 1 juta kiloliter SAF per tahun pada 2030. Dengan kebutuhan domestik sekitar 861 ribu kiloliter, Indonesia berpotensi memiliki surplus cukup besar yang kelak bisa diekspor.
"Bayangkan, kita bukan hanya memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi juga bisa mengekspor bahan bakar hijau ke negara lain. Ini adalah peluang ekonomi baru bagi bangsa menjadi pusat produksi SAF di Asia," ungkapnya.
Pada kesempatan ini, Eddy juga menekankan pentingnya inovasi teknologi SAF generasi baru seperti Power-to-Liquid, serta distribusi SAF ke bandara utama agar bisa masuk ke rantai pasok penerbangan secara komersial.
"Kalau sistemnya terbangun utuh, kita bisa hasilkan 187 ribu kiloliter SAF per tahun, menekan 0,5 juta ton emisi CO₂, dan membuka 30 ribu lapangan kerja hijau. Ini bukan angka kecil - ini masa depan ekonomi hijau Indonesia," jelasnya.
Eddy menegaskan MPR RI mendukung penuh harmonisasi kebijakan dan regulasi energi bersih melalui pembahasan RUU Energi Terbarukan, RUU Perubahan Iklim, RUU Listrik, dan RUU Migas.
"MPR berkomitmen menjadi penggerak kebijakan yang memastikan transisi energi tidak berhenti di niat, tapi berjalan di lapangan," tegas Anggota DPR RI Komisi XII ini.
"Kami ingin memastikan SAF bukan sekadar pilot project, tapi menjadi komitmen nasional yang menempatkan Pertamina sebagai pemimpin regional bahan bakar penerbangan berkelanjutan," pungkasnya.
(prf/ega)


















































