Waspada! Harga Minyak Melejit Saat Daya Beli Warga RI Masih Lesu

2 weeks ago 7

Jakarta, CNBC Indonesia - Konflik di Timur Tengah yang menyeret Amerika Serikat (AS), Israel dan Iran berpotensi mendorong kenaikan harga minyak mentah dunia secara signifikan. Terutama jika Selat Hormuz, jalur pelayaran yang dilalui sekitar 20 persen minyak global ditutup.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menilai kondisi ini diperkirakan akan memicu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri dalam waktu dekat. Oleh sebab itu, ia pun mengingatkan agar pemerintah Indonesia tetap waspada.

Sebab, lonjakan harga minyak mentah akan berdampak langsung terhadap biaya impor BBM yang semakin tinggi, dan berpotensi memicu inflasi pada harga-harga yang diatur pemerintah di tengah lesunya daya beli masyarakat.

"Yang harus diperhatikan pemerintah adalah lonjakan biaya impor bbm akan sebabkan inflasi harga yang diatur pemerintah melonjak, tapi disaat daya beli lesu," kata Bhima kepada CNBC Indonesia Senin (23/6/2025).

Menurut dia, hal ini bukanlah inflasi yang baik. Pasalnya, begitu harga BBM naik, efeknya akan langsung diteruskan ke pelaku usaha dan konsumen. Akibatnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga bisa melambat.

Lebih lanjut, Bhima memperkirakan apabila konflik berlangsung lebih lama, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini bisa saja hanya akan mencapai 4,5% secara tahunan (year-on-year), jauh dari target optimistis pertumbuhan ekonomi 8%.

"Proyeksinya jika perang berlangsung lebih lama ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 4,5% year on year tahun ini. Makin berat mencapai target 8% pertumbuhan ekonomi karena situasi eksternal nya terlalu berat, ditambah adanya efisiensi anggaran pemerintah," ujarnya.

Sebagaimana diketahui, harga minyak dunia melemah pada perdagangan Jumat pagi (20/6/2025), setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengindikasikan keputusan terkait aksi militer ke Iran baru akan diambil dalam dua pekan ke depan. Sentimen ini meredakan kekhawatiran pasar atas potensi serangan dalam waktu dekat.

Berdasarkan data Refinitiv pukul 09:45 WIB, harga minyak Brent kontrak Agustus turun ke level US$76,90 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) menguat tipis ke US$75,61 per barel. Ini menandai koreksi dari reli tajam sehari sebelumnya, di mana Brent sempat ditutup melonjak hampir 3% ke US$78,85 per barel.

Volatilitas pasar minyak pekan ini sangat tinggi, dengan pergerakan harga dalam rentang hampir US$8. Data Bloomberg menyebutkan, ekspektasi opsi sempat seagresif saat invasi Rusia ke Ukraina. Namun, pernyataan juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt bahwa "negosiasi dengan Iran masih memiliki peluang substansial" membuat pasar menurunkan premi risiko serangan.

"Komentar Leavitt mengurangi urgensi dari pasar. Setidaknya untuk saat ini, harga tetap akan berada di rentang sangat fluktuatif US$70-US$80 per barel," kata Robert Rennie, Kepala Riset Komoditas Westpac kepada NDTV.

Di sisi lain, ketegangan tetap tinggi. Israel terus melancarkan serangan ke fasilitas nuklir Iran, walau hingga kini belum berdampak langsung pada infrastruktur ekspor minyak. Namun, indikasi bahwa Iran mempercepat pengiriman ekspor-terlihat dari penuhnya terminal Kharg Island-menggambarkan situasi yang masih dinamis.

Pasar juga tetap memantau Selat Hormuz, jalur vital pengiriman energi dunia di mana sekitar 20% suplai minyak global melewati kawasan sempit ini. Hingga saat ini, belum ada tanda-tanda gangguan dari Iran terhadap pelayaran.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Perang Baru Arab di Depan Mata, Israel Ancam Negara Ini Bakal Tamat

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |