Jakarta -
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat atau Rerie menekankan pentingnya layanan pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan khas perempuan pedalaman secara menyeluruh, mulai dari kebijakan hingga dukungan sosial.
"Dalam konteks tertentu perempuan pedalaman ikut andil dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup, budaya dan juga mampu berperan sebagai penggerak ekonomi keluarga dan dapat mempengaruhi keputusan adat. Pemenuhan layanan pendidikan yang berkualitas dan tepat dapat memperkuat sejumlah peran itu," jelas Rerie, dalam keterangan tertulis, Rabu (12/11/2025).
Hal itu diungkapkan dalam sambutannya pada diskusi daring bertema "Membangun Ekosistem Pemberdayaan Perempuan Berkelanjutan melalui Kebijakan Pendidikan Berbasis Kebutuhan Perempuan Pedalaman", yang diselenggarakan oleh Forum Diskusi Denpasar 12 bersama Kongres Wanita Indonesia (Kowani),
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diskusi yang dimoderatori oleh Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI, Arimbi Heroepoetri, S.H., L.LM., ini hadirkan sejumlah narasumber, antara lain Kepala Pendidikan Regional Multisektoral UNESCO, Santosh Khatri; Direktur Pendidikan Nonformal dan Pendidikan Informal Kemendikdasmen RI, Dr. Baharudin, S.Pd., M.Pd.; Sekjen Lembaga Perempuan Dayak Nasional (LPDN), Dr. Dra. Gaudensia Diana K.F., S.H., M.Hum., M.Si.; Ketua Dewan Eksekutif Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL Perempuan), Misiyah; dan Ketua Subkom Pendidikan Komnas Perempuan, Dr. Devi Rahayu, S.H., M.Hum.
Selain itu, Anggota DPR RI sekaligus Presidium Kaukus Parlemen Perempuan Republik Indonesia 2025-2030, Amelia Anggraini, turut hadir sebagai penanggap. Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Kowani, Nannie Hadi Tjahjanto, juga memberikan sambutan.
Menurut Rerie, faktor geografis, sosial-budaya, dan ekonomi masih menjadi hambatan bagi perempuan pedalaman untuk memperoleh kesempatan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan hidup serta potensi lokal mereka.
Rerie menegaskan berbagai upaya untuk mengatasi kendala tersebut harus segera dilakukan. Anggota Komisi X DPR RI itu menilai kurikulum yang adaptif menjadi elemen penting dalam merumuskan kebijakan pendidikan bagi perempuan pedalaman.
Rerie menambahkan penguatan akses dan infrastruktur pendidikan juga menjadi aspek krusial yang perlu diperhatikan. Ia berharap Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat yang tengah dibahas di parlemen dapat segera disahkan. Dengan demikian, harapan terhadap terpenuhinya pemberdayaan perempuan pedalaman akan semakin besar, didukung oleh payung hukum yang secara jelas melindungi hak-hak mereka.
Di sisi lain, Nannie menegaskan bahwa mewujudkan kemudahan akses pendidikan bagi perempuan pedalaman merupakan bagian dari upaya meningkatkan kapasitas perempuan Indonesia.
Nannie menjelaskan perempuan sebagai Ibu Bangsa harus terus bertumbuh dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Ia menegaskan berbagai kendala yang dihadapi perempuan pedalaman dalam meningkatkan kapasitas diri perlu segera diatasi.
Di samping itu, Gaudensia mengungkapkan perempuan Dayak memiliki peran yang penting, sentral, dan strategis dalam kehidupan masyarakat adat. Ia menegaskan bahwa perempuan pada masyarakat Dayak memegang posisi yang menentukan dalam pengambilan keputusan adat. Ia melanjutkan perlunya akses pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan bagi perempuan sebagai modal utama untuk menjaga keberlanjutan pelestarian adat masyarakat Dayak.
Gaudensia juga mengajukan sejumlah rekomendasi, di antaranya mendorong perempuan Dayak untuk berperan sebagai agen pendidikan dalam upaya peningkatan kualitas perempuan di komunitasnya. Ia juga berharap adanya pengembangan model sekolah lapang yang mengajarkan nilai, tradisi, dan bahasa Dayak agar dapat diterapkan oleh berbagai komunitas adat lainnya.
Misiyah mengungkapkan, data UNDP 2023 mencatat bahwa 99,65% orang Indonesia masih memiliki bias gender, sehingga diperlukan upaya serius untuk mengatasi kondisi tersebut. Ia menjelaskan bahwa KAPAL Perempuan melakukan pemberdayaan perempuan melalui penyelenggaraan sekolah perempuan.
Sekolah ini, lanjutnya, menjadi wadah belajar bagi perempuan dan keluarga di desa, termasuk perempuan marjinal. Dalam sekolah tersebut, para peserta didik diberikan pemahaman tentang perspektif gender dan kepemimpinan perempuan yang dinilai sangat penting dalam meningkatkan kualitas perempuan.
Sementara itu, Devi Rahayu mengungkapkan bahwa Komnas Perempuan memiliki sejumlah isu prioritas yang menjadi fokus penanganan dalam upaya pemberdayaan perempuan. Isu-isu tersebut mencakup ancaman kekerasan seksual, upaya menciptakan ruang aman bagi perempuan di lingkungan keluarga dan dunia kerja, serta mendorong kesetaraan gender.
Terkait akses pendidikan bagi perempuan, Devi menambahkan hal ini memiliki keterkaitan erat dengan isu kesetaraan gender agar tidak terjadi diskriminasi terhadap perempuan. Ia menegaskan, kesetaraan gender dalam pendidikan perlu diwujudkan agar laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan berkualitas.
Selain itu, Santosh Khatri mengungkapkan UNESCO telah terlibat dalam pengembangan pendidikan di Indonesia sejak 75 tahun lalu, tepatnya sejak masa awal kemerdekaan. Bentuk keterlibatan tersebut diwujudkan melalui mobilisasi pendanaan, dukungan terhadap kegiatan akar rumput, serta penguatan strategi pendidikan untuk semua.
Santosh menambahkan, berdasarkan catatan UNESCO, angka partisipasi kotor perempuan Indonesia pada jenjang SD hingga sekolah lanjutan terus meningkat dari tahun ke tahun, dan kini mencapai sekitar 97-99%. Namun, hanya satu dari tiga lulusan bidang Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika (STEM) di dunia yang merupakan perempuan. Akibatnya, sekitar 58% anak perempuan di dunia masih menghadapi hambatan dalam keterlibatan digital.
Ia juga mencatat anak perempuan dari wilayah berpendapatan rendah dan daerah pedesaan masih mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan dan meningkatkan keterampilan. Untuk mengatasi hal tersebut, ujar Santosh, UNESCO terus mendorong penguatan sistem pendidikan di Indonesia, mendukung lahirnya ilmuwan muda, serta meningkatkan ketersediaan layanan pendidikan yang layak bagi semua.
Di sisi lain, Baharudin mengungkapkan bahwa secara umum arah kebijakan Kemendikdasmen berfokus pada upaya menghadirkan pendidikan bermutu untuk semua kalangan. Menurutnya, bukan hanya soal menyediakan akses pendidikan yang mudah dijangkau, tetapi juga memastikan mutu serta pemerataan layanan pendidikan di seluruh wilayah.
Ia menegaskan, penguatan literasi, numerasi, sains, dan teknologi menjadi salah satu langkah utama pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Selain itu, pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) berbasis keunggulan wilayah, pendidikan inklusif, serta peningkatan hard skill dan soft skill juga menjadi prioritas yang tengah direalisasikan.
Saat ini, lanjut Baharudin, terdapat 10.437 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang tersebar di berbagai daerah sebagai pelengkap layanan pendidikan formal. Ia menambahkan pemerintah menyambut baik dan mendukung berbagai inisiatif masyarakat maupun lembaga yang berupaya menyediakan pendidikan bagi warga pedalaman yang masih sulit mengakses layanan pendidikan.
Di samping itu, Amelia menilai, layanan pendidikan bagi perempuan di wilayah pedalaman perlu menerapkan pendekatan yang benar-benar memerdekakan perempuan. Menurutnya, selain meningkatkan kualitas teknis pembelajaran, penting pula memperkuat aspek sosial dan ekonomi perempuan agar manfaat pendidikan dapat dirasakan secara menyeluruh.
Amelia menekankan, kolaborasi antara seluruh pihak terkait perlu segera dibangun untuk mewujudkan hal tersebut. Ia juga menambahkan bahwa muatan lokal harus menjadi inti dari proses pembelajaran bagi perempuan di pedalaman.
Sementara itu, wartawan senior Saur Hutabarat memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Ia menilai, menciptakan kecerdasan bagi perempuan di pedalaman memerlukan peningkatan layanan pendidikan yang lebih menyentuh akar permasalahan.
Namun, ujar Saur, peningkatan pendidikan kerap tidak bertahan lama karena masyarakat kembali buta huruf akibat minimnya kebiasaan membaca.
Untuk menjangkau mereka yang sulit dijangkau, lanjutnya, salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah memastikan buku-buku berkualitas dapat sampai ke masyarakat pedalaman.
Langkah mendiang Nirwan Ahmad Arsuka, pendiri Pustaka Bergerak Indonesia, menurut Saur, patut ditiru. Dengan berkuda, Nirwan berkeliling ke kampung-kampung di pedalaman Sulawesi Selatan membawa buku-buku agar tetap bisa dibaca masyarakat.
"Perpustakaan Berkuda yang masuk ke kampung-kampung dan Sekolah Perempuan perlu diperkuat dan diperbanyak," pungkasnya.
(prf/ega)


















































