Jakarta, CNBC Indonesia - Gempa dahsyat berkekuatan M 9 melanda Jepang pada 11 Maret 2011. Pemerintah menyebut gempa besar itu masuk dalam kategori Megathrust.
Insiden itu memicu gelombang tsunami setinggi 40 meter yang bergerak hingga 700 Km/Jam. Situs Britanicca mencatat, gempa dan tsunami tersebut membuat 18.500 orang tewas, 10.800 hilang, dan 4.000 luka-luka.
Jumlah itu belum memperhitungkan kerusakan gedung dan hunian warga. Sebanyak ribuan rumah warga tak bisa lagi ditempati akibat gempa dan digulung tsunami.
Malapetaka ini tak berakhir dalam sehari. Keesokannya, otoritas mengumumkan reaktor nuklir Fukushima bocor.
Akibatnya, inti nuklir mencemari lingkungan dan membuat kota Fukushima tak bisa lagi ditempati. Penduduk setempat terpaksa menjalani kehidupan sesuai peribahasa populer "sudah jatuh tertimpa tangga".
Jepang memang menjadi salah satu negara yang rawan bencana gempa dan tsunami, sama halnya dengan Indonesia. Dari waktu ke waktu, Jepang telah mengembangkan teknologi canggih untuk meningkatkan upaya mitigasi bencana.
Salah satu cara cepat yang dilakukan adalah menyiarkan peringatan dini kepada masyarakat sebelum bencana menghadang. Namun, pada insiden tsunami 2011, terjadi salah perhitungan yang cukup signifikan.
Setelah gempa besar, otoritas Jepang memberikan peringatan tsunami kepada masyarakat. Namun, ketinggiannya bukan 40 meter, melainkan 'hanya' 3 meter.
Hal ini diungkap Ryo Kanouya. Ia menceritakan pengalamannya ketika hari bencana tiba. Pada pagi hari, Ryo bergegas ke luar rumah untuk berangkat ke kantor.
Tak ada sesuatu hal berbeda. Setelah sampai di kantor dia pun fokus kerja dari pagi hingga siang. Begitu juga rekan kerjanya yang lain. Semua fokus kerja dan sesekali berbicara bersama rekan di kala senggang.
Situasi ini terus berlanjut sampai akhirnya berubah saat jam menunjukkan pukul 15.30 waktu setempat. Tiba-tiba ponsel Ryo dan semua temannya berdering.
Ada notifikasi gempa yang kemudian diikuti goncangan besar di wilayah Fukushima. Bangunan-bangunan bergoyang hebat. Masyarakat berhamburan mencari perlindungan. Namun, kuatnya guncangan menyulitkan mereka untuk berjalan atau berlari menyelamatkan diri.
Pada saat bersamaan, banyak bangunan ambruk. Pohon dan tiang listrik roboh dalam sekejap. Semua itu berakhir 6 menit kemudian. Ryo pun langsung menenangkan diri dari gempa besar. Sayang, semua itu tak benar-benar berakhir.
"Saat kami berusaha menenangkan diri dari gempa besar itu, peringatan tsunami dikeluarkan," ungkap Ryo kepada National Geographic, dikutip Minggu (21/6/2025).
Otoritas terkait menyebut tsunami mendatang mencapai 3 meter. Perusahaan pun langsung memerintahkan semua karyawan untuk bergegas pulang membantu warga.
Ryo segera manut dan pulang ke rumah yang kebetulan hanya berjarak 1 Km dari pinggir pantai.
Sesampainya di rumah, Ryo ditenangkan oleh keluarga yang berpikir peringatan tsunami sudah selesai.
Toh, setelah beberapa menit, air tak kunjung naik ke daratan. Sayang, perkiraan keluarga salah dan ketakutan Ryo yang benar.
Saat melihat ke jendela, pria kelahiran 1990 tersebut kaget terperanjat. Ternyata air bergerak bak kilat dan langsung berada di depan matanya. Dia pun tak bisa menghindar dan hanya pasrah saat gelombang air menerjang jendela dan tembok rumah.
Awalnya, Ryo yakin rumahnya bakal bertahan. Namun, gelombang yang makin tinggi dan arus makin kuat akhirnya meratakan tempat tinggalnya.
Ryo pun terombang-ambing dan sudah menghirup banyak air. Saat situasi normal, diketahui gelombang tsunami mencapai ketinggian 40 meter.
"Lebih baik saya menghembuskan udara yang tersisa di paru-paru saya untuk mati," kenang Ryo.
Dia pun otomatis terpisah dengan keluarga. Ryo ingat dia terombang-ambing di atas air dengan memegang lemari. Pada titik ini dia merasa lega, tetapi timbul rasa iba atas nasib orang kurang beruntung.
Sejauh mata memandang, dia melihat banyak orang tenggelam. Ada juga yang mencoba bertahan hidup di atas tumpukan puing. Ada juga yang sudah mengapung tanda tak lagi bernyawa.
"Saya pun menunggu sampai permukaan air surut, perlahan-lahan turun saat air surut sampai saya kembali menginjak tanah," terang Ryo.
Saat menginjak tanah, kaki Ryo langsung lemas. Setelah melewati 'kiamat', dia melihat Fukushima rata dengan tanah. Banyak orang meninggal. Ada juga yang luka-luka. Ryo sendiri masih sehat tanpa luka. Dia hanya terancam mati kedinginan.
Namun, ada satu hal yang patut disyukuri: Ryo, ayah, ibu, dan saudara perempuan masih selamat. Hanya neneknya yang hilang entah ke mana, diduga meninggal dan tak bisa ditemukan sampai sekarang.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Teka Teki Megatsunami 200 Meter Hajar Greenland