Kanthi Malikhah, CNBC Indonesia
15 December 2025 19:46
Jakarta, CNBC Indonesia - China sejak 1978 menjalankan proyek reboisasi raksasa bernama Three-North Shelter Forest Program, yang lebih dikenal sebagai Great Green Wall China atau Tembok Hijau Raksasa China. Program jangka panjang ini ditargetkan rampung pada 2050 dan dirancang sebagai benteng ekologis untuk menahan laju penggurunan di wilayah utara negara tersebut.
Three-North Shelter Forest Program merupakan inisiatif ambisius yang mengubah bentang alam gurun menjadi kawasan hijau di wilayah barat laut, utara, dan timur laut China. Proyek ini mencakup area strategis yang selama puluhan tahun terpapar dampak perluasan Gurun Gobi dan Taklamakan.
Sejumlah capaian signifikan telah dicatat. Di antaranya adalah keberhasilan penghijauan Gurun Kubuqi di Daerah Otonomi Mongolia Dalam, transformasi kawasan Babusha di Provinsi Gansu, serta pengembangan lanskap hijau di Kotapraja Kekeya, Xinjiang Uygur. Di wilayah-wilayah tersebut, degradasi lahan yang sebelumnya parah mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
Secara keseluruhan, Tembok Hijau Raksasa membentang sepanjang sekitar 4.500 kilometer dengan luas mencapai 35,6 juta hektare. Program ini melibatkan penanaman hingga sekitar 100 miliar pohon, menjadikannya proyek rekayasa ekologi terbesar yang pernah dijalankan di dunia.
Untuk Apa Dibangun?
Tembok Hijau Raksasa dibangun sebagai upaya memperlambat penggurunan yang mengancam China Utara. Barisan pohon ditanam membentuk penghalang alami guna meredam badai debu yang berasal dari Gurun Gobi dan Taklamakan-fenomena yang selama ini mempercepat degradasi tanah serta menurunkan produktivitas pertanian.
Selain berfungsi sebagai penahan angin, vegetasi yang ditanam dimanfaatkan untuk menstabilkan bukit pasir. Di sejumlah wilayah, proyek ini juga mengombinasikan teknik penanaman dengan lapisan kerikil untuk memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan ketahanan ekosistem di kawasan rawan desertifikasi.
Dampak Lingkungan yang Muncul
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa proyek ini berkontribusi menurunkan frekuensi badai pasir di China bagian utara. Namun, sebagian ilmuwan menilai penurunan tersebut tidak sepenuhnya disebabkan oleh penanaman pohon, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor iklim, seperti perubahan pola curah hujan dan suhu.
Kritik juga mengemuka terkait tingkat kelangsungan hidup tanaman yang relatif rendah. Program ini dinilai terlalu bergantung pada beberapa spesies tertentu, terutama poplar dan willow, sehingga rentan terhadap serangan penyakit. Pada awal 2000-an, misalnya, sekitar satu miliar pohon poplar dilaporkan mati akibat patogen di Provinsi Ningxia.
Tingkat kematian tanaman juga diperparah oleh keterbatasan air di sejumlah wilayah. Tanpa perawatan jangka panjang, banyak pohon yang tidak mampu bertahan. Selain itu, pendekatan monokultur dinilai kurang mendukung keanekaragaman hayati jika dibandingkan dengan penanaman spesies lokal yang lebih beragam.
Ambisi Ketahanan Ekologi China
Meski menuai kritik, dari perspektif makro proyek ini tetap menunjukkan dampak positif. Mengutip Forbes, luas hutan China meningkat signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Data penginderaan jauh dari NASA dan Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok turut mengonfirmasi adanya penghijauan masif di wilayah utara negara tersebut.
Di kawasan pinggiran Gurun Gobi, tempat aktivitas pertanian sebelumnya memperparah degradasi lahan, proyek-proyek pemerintah mendorong peralihan ke penggunaan lahan yang lebih berkelanjutan, seperti agroforestri dan ekowisata.
Seiring berjalannya waktu, pendekatan yang diterapkan pun berevolusi. Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan lebih difokuskan pada penanaman semak yang tahan kekeringan, konservasi vegetasi yang sudah ada, serta rehabilitasi padang rumput terdegradasi. Strategi ini dinilai lebih efektif dibandingkan penanaman pohon baru di kawasan yang sangat rentan terhadap penggurunan.
(dag/dag)

















































