Jakarta -
Siang itu, langit mendung dan udara dingin yang turun dari lereng Ijen menyelimuti Sekolah Rakyat Terpadu (SRT) 2 Banyuwangi. Bangunan yang dulunya Balai Diklat PNS kini beralih fungsi menjadi sekolah bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat kota, suasana sekolah terasa tenang dan asri, jauh dari hiruk pikuk jalanan. Dari kejauhan, suara anak-anak belajar bercampur dengan gemerisik dedaunan yang tertiup angin gunung.
Di ruang kelas sederhana, empat murid duduk setengah melingkar. Mereka memperhatikan penjelasan Pak Sarjono, guru yang setiap Jumat datang mengajar bimbingan agama Hindu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu siswi, Enik Susilowati (17), gadis asal Dusun Wonoasih, Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore tampak tekun menyimak penjelasan dengan seragam pramukanya. Ia adalah satu dari sedikit siswa Hindu di sekolah yang mayoritas muridnya beragama Islam.
Sebelum di Sekolah Rakyat, hidup Enik penuh ujian sejak kecil. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara.
Orang tuanya berpisah saat ia masih duduk di bangku SD. Hal itu membuatnya harus ikut sang ibu, Laminem, dan hidup menumpang di rumah nenek. Sang ibu bekerja serabutan sebagai buruh tani dan kadang mencari sayur pakis di hutan untuk menghidupi keluarga kecilnya. Penghasilan minim sering kali tak cukup untuk makan.
Sekolah Rakyat menjadi titik balik hidupnya. Dengan dukungan pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) di desanya, Enik bersedia didaftarkan meski awalnya diliputi rasa ragu.
"Rasanya aneh, enggak betah di sini. Tapi lama-lama kenal dengan teman dari luar, akhirnya betah juga," kata Enik dalam keterangannya, Jumat (31/10/2025).
Kini, Enik merasa bagian dari keluarga besar SRT 2 Banyuwangi.
"Kalau tidak ada sekolah ini, kemungkinan besar (saya) tidak bakalan lanjut sekolah, karena bantu ibu kerja dan tidak punya biaya buat nerusin sekolah," ungkapnya.
Enik mengaku semua kakaknya hanya bisa melanjutkan sekolah sampai jenjang SMP. Kehidupan di asrama membawa kebiasaan baru dan tidur bersama teman-teman membuatnya merasa lebih tenang.
"Kalau di rumah tidur sendirian, kasurnya juga keras. Di sini ada teman, kasurnya empuk," ujarnya.
Pola makannya Enik pun berubah. Sebelumnya, Ia tidak memiliki jadwal makan yang teratur, kini Enik selalu makan tiga kali sehari ditambah camilan.
"Tadi siang ada capcay, tempe, ikan, dapat snack juga. Enak sekali," imbuhnya.
Enik menyampaikan yang paling berharga baginya adalah suasana toleransi yang hangat. Meski berbeda keyakinan, ia tidak pernah merasa dibeda-bedakan. Saat Hari Raya Saraswati (hari turunnya ilmu pengetahuan), ia difasilitasi untuk pulang dan dapat beribadah bersama keluarganya di Pura Giri Mulya yang berada di Desa Sugihwaras.
Sehari-hari, Enik juga tetap bisa menjalankan sembahyang tiga kali pada pagi, siang dan sore dengan nyaman, kadang di kelas, kadang di asrama. Teman-temannya bahkan sering mengingatkan dengan canda hangat dengan mengingatkannya untuk beribadah.
Enik belajar agama Hindu dengan tenang, mengenal sloka, memahami permana, hingga meresapi kirtanam yang ia ibaratkan seperti zikir dalam Islam. Enik kerap melakukan kirtanam di kelas ketika teman-temannya salat duha, atau di asrama saat azan Asar berkumandang. Semua berlangsung damai dan penuh rasa toleransi.
Ia menjalani hari-harinya dengan tekun. Selain rajin belajar, Enik juga gemar membaca. Buku yang kini sedang ia baca adalah novel 00.00 karya Ameylia Falensia.
Setiap malam, Enik kerap duduk di pojok baca asrama, kadang ditemani wali asuh atau teman-temannya, larut dalam suasana akrab yang penuh semangat. Prestasi yang pernah diraihnya pun tidak kecil. Saat SMP ia berhasil meraih peringkat dua berturut-turut di kelas.
Hidup sederhana tak membuat cita-citanya mengecil. Enik bermimpi bisa kuliah di Universitas Brawijaya Malang untuk menjadi desainer. Harapannya bisa membahagiakan orang tua, mengangkat derajat ibu, supaya tidak jadi buruh tani. Sebelum mengakhiri ceritanya,Enik menyampaikan rasa syukur yang mendalam.
"Terima kasih Pak Prabowo, berkat program Sekolah Rakyat ini saya bisa sekolah lagi. Kalau tidak ada, mungkin saya sudah ikut ibu jadi buruh tani," ucapnya.
Guru Bimbingan Konseling, Zulfi Wardha Azizah, melihat Enik sebagai pribadi istimewa. Meski pemalu, ia mudah bersosialisasi dan peduli pada sekitarnya serta pandai mengontrol emosi. Jika berbuat salah, ia tidak segan mengakui.
Di asrama, Enik dikenal rajin dan bertanggung jawab. Bahkan, meski berbeda keyakinan, ia kerap membangunkan teman Muslimnya untuk salat Subuh. Sikap sederhana itu membuatnya disayangi banyak teman dan guru.
Semua itu sejalan dengan arahan Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang menekankan pentingnya sekolah yang aman dari kekerasan, perundungan, dan intoleransi. Kepala SRT 2 Banyuwangi, Chitra Arti Maharani turut menjelaskan sekolah tersebut menjunjung tinggi sikap toleransi.
"Di SRT 2 Banyuwangi ini ada siswa kami yang beragama Muslim dan Hindu, semua saling berdampingan secara damai," ujarnya.
Karena itu, setiap anak diberi kebebasan beribadah, dan setiap keyakinan dihormati. Siswa Muslim melaksanakan salat berjamaah lima waktu dan salat Duha, sementara siswa Hindu dapat menjalankan sembahyang tiga kali sehari dengan tenang.
SRT ini berdiri di atas lahan seluas 36.300 meter persegi, dengan fasilitas empat asrama, 28 ruang tidur, lima ruang kelas, dua laboratorium, perpustakaan, musala, dan ruang makan. Saat ini ada 124 siswa, terdiri dari 66 laki-laki dan 58 perempuan, dari jenjang SD, SMP, hingga SMA. Mereka didampingi 22 guru, 16 wali asuh dan asrama, serta 12 tenaga pendidik.
Di balik wajah pemalunya, Enik menyimpan harapan besar. Ia tumbuh dalam pelukan toleransi, belajar dari kerasnya hidup, dan bertekad mengubah masa depan. Dari bangku sederhana Sekolah Rakyat, lahir mimpi-mimpi besar yang kelak bisa mengubah nasibnya untuk masa depan yang lebih baik. Dari dinginnya hawa di lereng Ijen, hadir suasana penuh kesejukan antarpemeluk agama, potret kecil dari Sekolah Rakyat untuk Indonesia.
(akn/ega)


















































