Puan Soroti Transisi Energi dan Tata Kelola AI di Forum MIKTA Korsel

2 hours ago 2

Jakarta -

Ketua DPR RI Puan Maharani berbicara soal transisi energi dan tata kelola teknologi artificial intelligence (AI) dalam salah satu sesi 11th MIKTA Speakers' Consultation 2025 yang digelar di Seoul, Korea Selatan. MIKTA, yang terdiri dari Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia, merupakan negara-negara middle power atau kekuatan menengah.

Sebagai informasi, MIKTA Speakers' Consultation merupakan forum konsultatif antara Ketua Parlemen anggota MIKTA. Kehadiran Puan merupakan undangan agenda kenegaraan. Forum ini merupakan acara tahunan di mana Pemerintah juga memiliki agenda yang sama.

Pada Sesi II MIKTA Speakers' Consultation ke-11 yang bertajuk 'The Role of Parliament in Ensuring The Just Energy Transition in the Era of AI and Climate Crisis', Puan menjadi pimpinan Parlemen pertama yang menyampaikan pandangannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mulanya Puan bicara tentang transisi negara yang berkeadilan dan berpihak pada rakyat. Ia menegaskan perang dan persaingan geopolitik tidak boleh mengalihkan negara dari agenda global yang sebenarnya. Negara harus menstabilkan iklim, memastikan transisi energi yang adil, dan menutup kesenjangan pembangunan.

"Transisi menuju energi bersih tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga sosial dan politik," ujar Puan, dalam keterangan tertulis, Rabu (12/11/2025).

Menurutnya, transisi yang dikelola dengan buruk akan memperdalam ketimpangan di dalam dan antarnegara. Itu sebabnya, Indonesia memandang transisi energi yang adil sebagai sebuah paket yang harus mencakup masyarakat.

"Ketika pembangkit listrik tenaga batu bara tutup, para pekerja kehilangan pekerjaan. Ketika industri bergeser, ekonomi lokal menderita. Ketika harga energi naik, masyarakat termiskinlah yang pertama menderita," jelasnya.

"Jika kita tidak mengelola transisi ini dengan cermat, kita tidak akan mencapai transisi yang ramah lingkungan. Kita justru akan mendapatkan ketegangan sosial dan ketidakadilan," tambahnya.

Puan menegaskan bahwa transisi energi yang mengabaikan kepentingan masyarakat bukanlah transisi yang adil. Menurutnya, kebijakan semacam itu tidak akan berkelanjutan dalam jangka panjang.

Mantan Menko PMK itu juga menyampaikan bahwa Indonesia mengakui artificial intelligence (AI) sebagai teknologi strategis yang berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi di masa depan, meski memiliki kebutuhan energi yang tinggi.

Puan menilai pemanfaatan AI dapat berkontribusi langsung terhadap pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) jika dikelola dengan bijak dan berpihak pada kepentingan rakyat.

"Indonesia secara konsisten menyerukan kerja sama internasional dalam tata kelola AI yang inklusif, berpusat pada manusia, dan adil bagi negara-negara berkembang," ujarnya.

"Kami menyadari peluang AI untuk mempercepat pembangunan, dan bahaya yang dapat ditimbulkannya, yaitu kesenjangan teknologi yang semakin dalam antara negara kaya dan miskin," lanjutnya.

Untuk memastikan transisi energi yang adil dan inklusif, Ketua DPR RI Puan Maharani menekankan pentingnya peran parlemen dalam menetapkan arah kebijakan yang jelas. Puan menilai, parlemen harus mengesahkan peraturan yang mampu mendefinisikan jalur energi jangka panjang, memberikan kepastian hukum bagi investasi energi terbarukan, serta melindungi pekerja dan masyarakat yang terdampak proses transisi.

Ia juga mengingatkan agar parlemen tidak abai terhadap suara publik. Menurutnya, transisi yang adil tidak bisa dirancang hanya oleh kementerian atau para ahli di ibu kota, tetapi juga harus melibatkan aspirasi masyarakat di berbagai daerah. Lebih lanjut, Puan menegaskan pentingnya fungsi anggaran dan pengawasan parlemen. Ia menyebut, tidak akan ada transisi yang kredibel tanpa dukungan pembiayaan yang memadai.

"Kita memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pendanaan untuk transisi tidak lenyap dalam birokrasi, tetapi menjangkau pekerja, pemerintah daerah, dan warga negara yang diminta untuk beradaptasi," jelasnya.

Di sisi lain, Puan mendorong parlemen MIKTA untuk memastikan akuntabilitas dalam teknologi. Ia menuturkan AI memasuki tata kelola, termasuk pekerjaan parlemen.

"Sebagai anggota parlemen, kita harus menetapkan batasan: bagaimana data dikumpulkan dan digunakan; bagaimana bias dikelola; bagaimana akuntabilitas tetap berada di tangan manusia yang terpilih. Kita juga harus mempertahankan inklusi digital agar AI tidak menjadi hak istimewa segelintir negara dan segelintir kelas sosial," tuturnya.

Puan mengingatkan pergeseran menuju energi bersih tidak boleh mengabaikan kelompok rentan. Ia menilai, memperluas akses energi, memastikan keterjangkauan, dan menyediakan dukungan kesejahteraan bagi populasi yang kurang beruntung bukanlah isu sampingan, tetapi semuanya merupakan bagian dari apa yang melegitimasi transisi ini.

Oleh karenanya, negara MIKTA didorong untuk mengadvokasi pendanaan konsesi yang lebih kuat, keringanan utang jika sesuai, dan mekanisme pembagian risiko untuk menarik modal swasta ke energi terbarukan dan jaringan listrik, terutama di negara-negara berkembang dengan ruang fiskal terbatas.

"Kita harus terus menyerukan peningkatan kapasitas, transfer teknologi, dan model pembiayaan yang memungkinkan negara-negara berkembang mengadopsi energi bersih dan menerapkan AI untuk pembangunan," ujarnya.

Puan memandang guncangan iklim sudah terjadi, sistem energi sudah berada di bawah tekanan, dan AI telah membentuk ekonomi masyarakat secara langsung. Jika parlemen tidak memimpin sekarang, menurutnya, transisi akan tetap terjadi, tetapi tidak akan adil.

"Pandangan Indonesia sederhana: transisi menuju energi yang lebih bersih harus memberikan keadilan, ketahanan, dan martabat. AI harus dikelola dengan cara yang memberdayakan masyarakat. Dan manfaatnya harus dibagi, bukan dipusatkan," ungkapnya.

"Indonesia berharap dapat terlibat secara konstruktif dengan semua mitra MIKTA untuk menerjemahkan prinsip-prinsip bersama menjadi tindakan. Jadi, masa depan yang kita bangun tidak hanya lebih hijau dan lebih cerah, tetapi juga lebih adil dan lebih manusiawi. Bagi kami, inilah kepemimpinan parlemen yang inklusif," sambungnya.

Di sela-sela rangkaian acara, Ketua DPR RI Puan Maharani menghadiri jamuan makan siang yang digelar oleh Ketua Majelis Nasional Republik Korea, H.E. Woo Won-shik, yang tahun ini memegang keketuaan parlemen MIKTA. Dalam jamuan tersebut, Puan hadir bersama Ketua Parlemen Australia dan sejumlah delegasi negara anggota MIKTA lainnya.

Pada kesempatan itu, Puan menyampaikan terima kasih atas sambutan hangat dari Parlemen Korea Selatan. Ia berharap, persahabatan antara Indonesia dan Korea Selatan, serta antarnegara anggota MIKTA, dapat terus terjalin erat tidak hanya di forum konferensi, tetapi juga melalui kerja sama konkret di berbagai bidang.

"Atas nama delegasi Indonesia, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus atas keramahan Anda. Jamuan makan siang ini mengingatkan kita bahwa persahabatan antar parlemen tidak hanya dibangun di ruang konferensi, tetapi juga melalui momen-momen bersama seperti ini," katanya.

"Indonesia sangat menghargai kepemimpinan Korea dalam menyelenggarakan pertemuan MIKTA ini dengan penuh perhatian dan visi," tambahnya.

Puan juga mengajak agar parlemen MIKTA memperkuat dialog.

"Hal ini agar MIKTA tetap menjadi jembatan kerja sama, yang mendorong perdamaian, kesejahteraan, dan kemajuan bersama di antara bangsa kita. Sekali lagi terima kasih atas sambutan dan kemurahan hati Anda," tutupnya.

(akd/ega)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |