Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan perdagangan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah mengguncang ekuitas global dalam beberapa minggu terakhir. Fakta ini pun mendorong investor untuk mencari tempat yang aman di pasar keuangan.
Salah satu penerima manfaat dari volatilitas pasar adalah franc Swiss. Salah satu mata uang terkuat dunia itu, secara luas dilihat sebagai aset safe haven di saat ketidakpastian makroekonomi atau geopolitik.
Mata uang Swiss telah terapresiasi 10% terhadap dolar AS sejak awal tahun. Tetapi meningkatnya permintaan untuk franc menimbulkan tantangan bagi para pembuat kebijakan.
Franc Swiss sendiri diperdagangkan 0,2% lebih tinggi terhadap dolar AS Selasa. Di mana US$1 dibeli sekitar 0,82 franc Swiss.
Franc yang kuat ternyata memberikan tekanan deflasi pada Swiss. Saat mata uang menguat, impor, yang memainkan peran penting dalam ekonomi negara, menjadi lebih murah.
Bagi beberapa negara, efek ini mungkin merupakan "penangguhan hukuman" dari inflasi yang ketat. Namun, sementara banyak pasar maju, seperti AS dan Inggris, masih berupaya menurunkan inflasi ke target 2%, Swiss menghadapi masalah yang sebaliknya yakni harga-harga jatuh terlalu banyak.
Inflasi Swiss berubah negatif pada bulan Mei, dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) negara itu turun 0,1% tahun-ke-tahun (yoy). Harga barang impor mengalami kontraksi signifikan, turun 2,4% secara tahunan setelah tetap datar pada bulan sebelumnya.
"Penurunan terbaru sebagian besar didorong oleh faktor eksternal," kata ekonom senior Prancis dan Swiss di ING, Charlotte de Montpellier, dikutip CNBC International, Kamis (5/6/2025).
"Franc Swiss yang kuat telah secara signifikan mengurangi biaya barang impor ... Mengingat impor mencapai 23% dari keranjang CPI, hal ini berdampak penting pada inflasi keseluruhan di Swiss," tambahnya di sebuah catatan.
Data bulan Mei menandai kembalinya Swiss ke deflasi pertama sejak pandemi Covid-19. Hal ini dapat mendorong bank sentral, Bank Nasional Swiss (SNB) untuk menggunakan dua kebijakan utama yang sebelumnya telah diterapkan guna mengatasi apa yang disebut De Montpellier sebagai "masalah berkelanjutan" bagi bank sentral.
SNB mengakhiri periode tujuh tahun suku bunga negatif pada tahun 2022. Kebijakan ini tidak populer di kalangan penabung dan pemberi pinjaman, karena kebijakan tersebut menghilangkan pengembalian simpanan tabungan dan menekan margin dan profitabilitas bank.
Pada pertemuan terakhirnya di bulan Maret, bank sentral memangkas suku bunga utamanya sebesar 25 basis poin menjadi 0,25%. Setelah data inflasi minggu ini, SNB diyakini memangkas kembali suku bunga hingga 25 basis poin.
"SBN berusaha memerangi apresiasi franc Swiss dengan senjata yang dimilikinya," kata De Montpellier.
(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:
Video: BPS Catat RI Alami Deflasi 0,37% (mtm) di Mei 2025
Next Article Krisis Negara Minyak Makin Ngeri, Mata Uang Ambruk 920.000/US$