Jakarta, CNBC Indonesia - Jargon swasembada pangan yang kerap dilontarkan Presiden Prabowo Subianto bukan barang baru. Sejak era 1970, swasembada pangan sudah menjadi cita-cita pemerintah untuk direalisasikan sebagai simbol kedaulatan nasional.
Hingga Revolusi Hijau muncul pada era itu, swasembada pangan menjadi salah satu jargon untuk memperkuat kebijakan pemerintah di sektor pertanian. Namun, realisasinya, sektor pertanian makin tak mampu menopang struktur perekonomian RI, berdasarkan catatan LPEM FEB UI.
Pangsa pertanian dalam produk domestik bruto (PDB) menyusut dari sekitar 40% pada 1970-an menjadi hanya 12% pada 2023, sementara proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian turun dari hampir dua pertiga angkatan kerja menjadi kurang dari sepertiga.
"Perlunya kebijakan yang mendorong pertumbuhan agroindustri pengolahan, diversifikasi, serta peningkatan standar mutu guna menyelaraskan produksi dengan tren konsumsi," dikutip dari LPEM-FEBUI Working Paper bertajuk 'Mengukur dan Mentransformasi Sistem Pangan-Pertanian Indonesia: Dari Ketergantungan pada Beras menuju Pertumbuhan yang Terdiversifikasi', Senin (29/12/2025).
Dalam karya ilmiah yang ditulis Mohamad Ikhsan, Hadyan Prabowo, Ibrahim Naufal itu, LPEM FEB UI mencatat produk pertanian dominan yang menjadikan masyarakat Indonesia ketergantungan sebagai bahan pangan utama adalah beras. Kondisi itu membuat dilema kebijakan yang mereka sebut "Perangkap Beras."
Perangkap beras terjadi ketika sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan konsumen beras, baik di perdesaan maupun perkotaan. Oleh karena itu, perlindungan harga bagi konsumen menjadi isu yang sangat sensitif secara politik, sehingga kebijakan perberasan cenderung kaku dan sulit diubah.
Namun, di sisi lain, petani yang menjadi produsen beras tergolong kelompok miskin, baik itu buruh tani tak bertanah maupun petani kecil dengan lahan yang terfragmentasi. Mereka mau tak mau harus bermigrasi ke pekerjaan nonpertanian dengan upah yang lebih tinggi, hingga memicu turunnya jumlah tenaga kerja di sektor pertanian dari tahun ke tahunnya, dan membuat kontribusi sektor pertanian terhadap PDB kian menyusut.
Dilema "Perangkap Beras" ini menurut tim ekonom LPEM FEB UI sebetulnya sudah pernah dikonsepkan solusinya oleh ayah Presiden Prabowo Subianto, yakni Profesor Soemitro Djojohadikusumo. Pada periode awal 1970, ia tercatat pernah mengusulkan pendirian pabrik pengolahan gandum di Indonesia.
Pada masa itu, gagasan ini sangat kontroversial. Gandum bukan bagian dari pola makan tradisional Indonesia, dan hanya sedikit rumah tangga yang memiliki pengalaman mengonsumsinya sebagai bahan pangan pokok.
"Namun, pemikiran Soemitro didasarkan pada pandangan strategis jangka panjang. Ia memahami bahwa ketergantungan eksklusif pada beras sebagai pangan pokok utama Indonesia pada akhirnya akan membatasi ketahanan pangan dan menyulitkan pengendalian inflasi," kata tim ekonom LPEM FEB UI dalam Working Paper 088, edisi November 2025 itu.
Dengan pertumbuhan penduduk yang pesat, meningkatnya tekanan terhadap luas lahan di Pulau Jawa, serta keterbatasan peningkatan produktivitas, beras saja tidak akan mampu menopang ketahanan pangan nasional. Namun, meskipun Presiden Soeharto menyetujui konsep itu, pelaksanaannya kemudian diserahkan kepada operator lain.
"Jika ditinjau kembali, eksperimen kebijakan ini menunjukkan bagaimana imajinasi dan diversifikasi berperan penting dalam mencegah ketergantungan yang berlebihan pada beras," tulis tim ekonom LPEM FEB UI.
Kendati begitu, terlepas dari visi jauh ke depan gagasan Soemitro itu, Indonesia menurut tim ekonom LPEM FEB UI hingga kini masih terjebak dalam "Perangkap Beras".
Ada empat alasan yang mereka anggak perangkap itu masih menjerat ibu pertiwi. Berikut ini rinciannya.
1. Sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan konsumen bersih beras, baik di perdesaan maupun perkotaan. Oleh karena itu, perlindungan harga bagi konsumen menjadi isu yang sangat sensitif secara politik, sehingga kebijakan perberasan cenderung kaku dan sulit diubah.
2. Rumah tangga produsen beras secara tidak proporsional merupakan kelompok miskin. Baik buruh tani tak bertanah maupun petani kecil dengan lahan yang terfragmentasi tetap terjebak di sekitar atau di bawah garis kemiskinan. Jalur utama untuk keluar dari kondisi tersebut adalah bermigrasi ke pekerjaan nonpertanian dengan upah yang lebih tinggi.
3. Meskipun mendapatkan subsidi input yang besar-seperti pupuk, irigasi, dan berbagai bentuk dukungan lainnya-petani padi Indonesia tidak mampu menandingi daya saing negara-negara tetangga di kawasan. Hal ini bukan karena lahannya kurang produktif, melainkan karena terlalu banyak tenaga kerja yang terlibat dalam usaha tani padi di lahan yang terlalu sempit, sehingga menciptakan inefisiensi struktural.
4. Beban fiskal untuk menopang sektor perberasan terus meningkat. Subsidi, operasi pengadaan, dan program stabilisasi menyerap porsi besar dari anggaran pertanian, sehingga mengurangi ruang fiskal untuk investasi dalam diversifikasi.
Implikasinya dari masalah itu menurut tim ekonom LPEM FEB UI jelas: Indonesia tidak dapat mencapai ketahanan pangan jangka panjang maupun kesejahteraan perdesaan dengan terus menggandakan fokus pada beras.
Bagi mereka, solusinya terletak pada upaya bertahap untuk mengalihkan petani ke komoditas bernilai tambah lebih tinggi dan ke pekerjaan nonpertanian dengan pendapatan yang lebih baik, sembari mengarahkan kembali subsidi ke faktor-faktor pendukung-seperti infrastruktur, keterampilan, teknologi, dan pembiayaan-yang mendorong kegiatan yang lebih beragam dan produktif.
"Pelajaran dari usulan gandum Soemitro karena itu sangat relevan hingga hari ini: melepaskan diri dari jebakan beras memerlukan cara berpikir di luar kebiasaan serta keberanian untuk menghadapi ketergantungan pada jalur kebijakan lama," ucap mereka dalam karya ilmiahnya itu.
Tim ekonom LPEM FEB UI itu pun menekankan, ketahanan pangan masa depan Indonesia tidak bergantung pada mempertahankan beras dengan segala cara, melainkan pada penataan ulang strategi pangan dan pertanian menuju diversifikasi, daya saing, dan inklusivitas.
(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]


















































