Lestari Moerdijat Dorong Kolaborasi Link and Match Kampus dan Dunia Usaha

5 hours ago 1

Jakarta -

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat (Rerie) menekankan pentingnya kolaborasi berbagai pihak untuk mewujudkan keterkaitan antara pendidikan tinggi dan dunia usaha. Hal itu dinilai penting demi menciptakan lapangan kerja dan memanfaatkan bonus demografi yang tengah dihadapi Indonesia.

"Kita dihadapkan pada bonus demografi yang di satu sisi bisa menjadi kekuatan, namun di sisi lain berpotensi menjadi bencana jika tidak diiringi dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai," kata Rerie dalam keterangannya, Rabu (9/7/2025).

Hal tersebut ia sampaikan pada Forum Diskusi Denpasar 12 yang dimoderatori oleh Staf Khusus Wakil Ketua MPR, Dr. Usman Kansong, dan menghadirkan sejumlah narasumber seperti Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kemenaker RI, Darmawansyah; President Director & Group CEO PT Gobel International, Hiramsyah S. Thaib; Dekan Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, Dr. Silverius Y. Soeharso, S.E., M.M.; serta Ketua Bidang Ekonomi DPP Partai NasDem, Millie Lukito sebagai penanggap.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rerie mengatakan, pengangguran bukan hanya berdampak secara personal, tapi juga membawa konsekuensi sosial dan ekonomi yang signifikan secara nasional. Menurutnya, dampak itu antara lain peningkatan angka kemiskinan dan ketimpangan sosial.

Ia menilai, sistem pendidikan tinggi saat ini belum mampu menghasilkan SDM yang sesuai dengan kebutuhan industri. Padahal, pendidikan tinggi seharusnya bisa melahirkan SDM kompeten dan mampu menciptakan lapangan kerja. Untuk itu, Rerie mendorong sinergi semua pemangku kepentingan, baik di pusat maupun daerah, guna menciptakan ekosistem pendidikan nasional yang berkualitas dan berdaya saing.

Senada dengan itu, Dr. Silverius Y. Soeharso (Sonny) menilai pendidikan tinggi di Indonesia menghadapi berbagai persoalan. Menurutnya, lulusan perguruan tinggi belum mampu memenuhi tuntutan dunia kerja. Ia juga mengkritisi birokrasi dan pengembangan teknologi yang belum menjawab kebutuhan nasional.

Sonny mengakui bahwa daya saing SDM Indonesia masih kalah dibandingkan negara tetangga. Bahkan, kenaikan UMR pun lebih didasarkan pada peningkatan kebutuhan dasar hidup, bukan kinerja.

Ia menekankan pentingnya pengembangan ekosistem pendidikan yang utuh sesuai amanat UUD 1945, agar mampu menghasilkan SDM yang relevan dengan kebutuhan industri.

Hiramsyah S. Thaib pun menyoroti persoalan pengangguran di seluruh jenjang pendidikan sebagai tantangan besar menuju visi Indonesia Emas 2045. Ia menyebut, meski secara makroekonomi Indonesia berada di jalur yang benar dengan GDP peringkat 8 terbesar dunia, tingkat pengangguran Indonesia masih tertinggi di kawasan ASEAN. Menurutnya, sebelum mendorong pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan sosial harus direalisasikan terlebih dahulu.

"Tingkat pengangguran yang tinggi ini berpotensi melahirkan ketidakstabilan atau gangguan sosial masyarakat," ujarnya.

Ia pun mendorong adanya strategi jangka pendek, menengah, dan panjang untuk menekan angka pengangguran, serta perlunya program konkret dari berbagai rencana pembangunan yang telah disusun.

"Yang belum kita lakukan saat ini adalah menerjemahkan berbagai rencana pembangunan yang ada itu ke dalam program-program yang konkret," pungkasnya.

Sementara itu, Darmawansyah menyampaikan data ketenagakerjaan Indonesia saat ini berjumlah 153 juta angkatan kerja, dengan 145 juta bekerja dan 7,28 juta pengangguran. Ia mengakui jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi mengalami peningkatan.

Menurutnya, sejumlah penemuan menunjukkan bahwa salah satu penyebab utama hal tersebut adalah tidak terjadinya link and match antara pencari kerja dengan dunia usaha. Banyak pencari kerja belum memiliki kompetensi yang sesuai kebutuhan, dan pengusaha pun kesulitan mendapatkan tenaga kerja yang tepat. Faktor lainnya adalah minimnya akses informasi peluang kerja di wilayah-wilayah pelosok.

Darmawansyah menjelaskan pemerintah terus berupaya menciptakan lapangan kerja serta meningkatkan kompetensi tenaga kerja, termasuk dengan menangkap peluang dari program-program unggulan seperti Koperasi Merah Putih, yang membutuhkan SDM dengan keahlian dalam pengelolaan keuangan dan aset.

Di sisi lain, Millie Lukito menilai lulusan sarjana di Indonesia sebenarnya cerdas, namun belum siap menghadapi kebutuhan industri karena ada kesenjangan keterampilan. Ia menyoroti lemahnya kemampuan bahasa Inggris sebagai salah satu faktor ketertinggalan tenaga kerja Indonesia dibandingkan Filipina, terutama di pasar global.

Menurut Millie, perlu ada pusat pelatihan untuk tenaga kerja Indonesia yang akan bekerja di luar negeri, agar mereka siap secara keterampilan dan kompetensi. Ia juga menekankan perlunya kurikulum pendidikan yang membekali lulusan dengan kompetensi dasar, seperti bahasa Inggris, yang sebaiknya sudah diajarkan sejak jenjang sekolah dasar.

(akn/ega)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |