Jakarta -
Komisi III DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) hingga sejumlah ahli hukum terkait putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah. Rapat digelar untuk mendengarkan pandangan ahli soal putusan MK tersebut.
Rapat digelar di ruang Komisi III DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (4/7/2025). Rapat dipimpin oleh Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman.
Tampak mantan Hakim MK Patrialis Akbar hingga sejumlah ahli hukum seperti Taufik Basari dan Valina Singka Subekti hadir di ruangan. Habiburokhman mengatakan MK memutuskan Pemilu 2029 digelar dengan cara memisahkan pemilu tingkat nasional dengan daerah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"MK memutus ya, bahwa mulai tahun 2029 keserentakan penyelenggara Pemilu yang konstitusional adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD dan presiden, wakil presiden atau pemilu nasional dengan penyelenggara pemilu anggota DPRD provinsi, kabupaten kota dan walikota, wakil walikota disebut oleh MK namanya pemilu daerah lokal," ujar Habiburokhman.
Dia menyebut MK merupakan lembaga yang memutuskan pemilu serentak untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota. Habiburokhman menyebut putusan MK terbaru justru berbeda dengan putusan sebelumnya.
"Dengan demikian model pemilu serentak lima kotak yang mana ini juga hasil putusan MK 2019 selama ini dikenal tidak berlaku lagi. Jadi putusan MK lima kotak itu bersifat final, putusan yang kemarin juga bersifat final, nggak tau nih yang final yang mana lagi," kata Legislator Gerindra ini.
Habiburokhman mengatakan Komisi III DPR ingin mendapat masukan dari berbagai pihak terkait penerapan putusan MK. Dia mengatakan ada anggapan jika putusan MK ini melanggar konstitusi.
"Dengan demikian, putusan tersebut menimbulkan polemik di masyarakat. Hal ini di antaranya terkait indikasi MK telah melampaui kewenangannya terkait open legal policy yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang," kata Habiburokhman.
"Adanya anggapan bahwa MK telah mengubah konstitusi Undang-Undang Dasar Negara 1945 terkait kewenangannya dan pelaksanaan Pemilu/Pilkada serta adanya indikasi Inkonsistensi putusan tersebut terhadap dua putusan MK yang sebelumnya," imbuhnya.
(dwr/haf)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini