Jakarta, CNBC Indonesia- Aktivitas manufaktur Indonesia kembali mengalami kontraksi pada Mei 2025. Kontraksi memperpanjang tren negatif menjadi dua bulan beruntun,
Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Senin (2/6/2025) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 47,4 atau mengalami kontraksi pada Mei 2025. Ini adalah kedua kali dalam dua bulan beruntun PMI mencatat kontraksi.
PMI memang lebih baik dibandingkan pada April 2025 yakni 46,7.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.
S&P Global menjelaskan aktivitas produksi dan pesanan baru kembali melemah, dengan penurunan pesanan baru yang bahkan lebih tajam dibanding April. Penurunan pesanan bahkan menjadi yang terdalam sejak Agustus 2021.
Ekspor juga terus menurun selama Mei, sementara permintaan yang lesu membuat pelaku usaha menahan pembelian dan menyesuaikan tingkat persediaan.
Kepada S&P, perusahaan menjelaskan lemahnya permintaan pasar dan lebih sedikit permintaan barang sebagai faktor utama dari jebloknya aktivitas manufaktur. Permintaan dari luar negeri juga kembali melemah, meskipun dengan laju yang lebih lambat, terutama ekspor ke Amerika Serikat.
Kondisi permintaan yang lemah ini turut mendorong penurunan lanjutan produksi untuk bulan kedua berturut-turut. Meskipun masih dalam kategori solid, laju penurunan produksi lebih lambat dibanding bulan sebelumnya.
Sebagai respons atas kondisi operasional yang lesu, pelaku usaha menurunkan volume pembelian bahan baku penurunan kedua dalam dua bulan terakhir. Perusahaan juga berupaya mengurangi persediaan bahan baku dan barang jadi, dengan memanfaatkan stok yang ada untuk memenuhi produksi dan permintaan.
"Ekonomi manufaktur Indonesia mengalami kontraksi di tengah penurunan pesanan baru paling tajam dalam hampir empat tahun yang turut mendorong penurunan volume produksi secara signifikan. Ekspor juga terus melemah, sementara pelaku usaha menyesuaikan tingkat pembelian dan persediaan sebagai respons terhadap lemahnya permintaan," tutur Usamah Bhatti, Ekonom di S&P Global Market Intelligence, di website resmi.
Meskipun permintaan terhadap barang masuk masih lemah, waktu pengiriman bahan baku mengalami perpanjangan paling signifikan dalam sembilan bulan terakhir.
Hal ini disebabkan oleh cuaca buruk dan keterlambatan distribusi, meskipun permintaan terhadap input sebenarnya cenderung melemah.
Namun demikian, pelaku usaha tetap menunjukkan optimisme bahwa fase pelemahan ini bersifat sementara dan pertumbuhan akan kembali. Keyakinan terhadap prospek output 12 bulan ke depan pun tercatat menguat dibanding April.
Perusahaan Menambah Tenaga Kerja
Di tengah kontraksi PMI,terdapat sinyal positif dari sisi ketenagakerjaan. Pelaku industri melaporkan peningkatan kembali pada jumlah tenaga kerja, seiring keyakinan bahwa pertumbuhan akan kembali terjadi dalam beberapa bulan mendatang.
Sebagai bentuk kesiapan menghadapi potensi pemulihan permintaan, perusahaan menambah jumlah tenaga kerja untuk kelima kalinya dalam enam bulan terakhir.
Dalam catatan S&P, perusahaan mencatatkan peningkatan perekrutan tertinggi dalam tiga bulan terakhir, dengan kepercayaan terhadap prospek output 12 bulan ke depan yang turut menguat.
Bukti anekdotal juga menunjukkan bahwa sebagian perusahaan memberikan diskon harga untuk mendorong penjualan, tercermin dari kenaikan harga jual yang sangat tipis, meskipun biaya input naik lebih tajam.
Kapasitas tambahan ini juga memungkinkan perusahaan untuk terus mengurangi pekerjaan yang belum terselesaikan, meskipun laju penurunannya melambat dibanding bulan sebelumnya.
Tekanan Harga & Biaya Produksi
Di sisi harga, inflasi biaya input meningkat tajam pada Mei, menjadi yang tertinggi dalam tiga bulan terakhir. Responden survei menyebutkan bahwa kenaikan harga bahan baku secara luas menjadi penyebab utama beban biaya yang meningkat.
Namun, banyak perusahaan berupaya menyerap kenaikan biaya tersebut dan bahkan memberikan diskon demi merangsang permintaan. Akibatnya, kenaikan harga output (harga jual) hanya terjadi secara marginal, dan merupakan laju paling lambat dalam delapan bulan terakhir dalam tren inflasi harga jual.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mae/mae)