Jaksa penuntut umum (JPU) meminta majelis hakim menolak nota keberatan atau eksepsi para terdakwa kasus tata kelola minyak mentah. Jaksa menilai perkara ini harus dilanjutkan ke pembuktian.
Sidang dengan agenda mendengar tanggapan jaksa atas eksepsi mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN) Riva Siahaan, Maya Kusmaya selaku eks Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, dan Edward Corne selaku eks VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (23/10/2025). Jaksa membacakan tanggapan atas eksepsi Riva lebih dulu, kemudian dilanjutkan Kesimpulan Maya dan Edward.
Jaksa mengatakan keberatan pihak Riva terhadap surat dakwaan yang menyebut kerugian negara Rp 285 triliun dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentahnya cerita fiksi. Jaksa mengatakan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang nantinya berwenang mengadili perkara tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bahwa dalam surat dakwaan penuntut umum menguraikan tempus delicti serta perbuatan terdakwa yang menyimpang sehingga menimbulkan kerugian negara dan memenuhi unsur delik tindak pidana korupsi," kata jaksa.
"Sehingga alasan keberatan penasihat hukum tersebut telah masuk dalam pokok perkara sehingga harus dikesampingkan oleh majelis hakim," lanjutnya.
Jaksa mengatakan surat dakwaan telah lengkap dan cermat menguraikan unsur delik dugaan pidana yang dilakukan Riva. "Sehingga surat dakwaan penuntut umum telah disusun secara cermat, jelas, dan lengkap," ungkap jaksa.
"Sehingga dengan hal tersebut, perbuatan terdakwa nyata-nyata bukan merupakan peristiwa administratif. Dengan demikian dalil atau alasan eksepsi penasihat hukum terdakwa tersebut tidak berdasar dan harus disampingkan atau tidak diterima," lanjutnya.
Menurut jaksa, dalil keberatan kuasa hukum Riva masuk materi pokok perkara. Jaksa menilai unsur pidana dalam surat dakwaan harus dibuktikan dalam persidangan selanjutnya dengan agenda lanjutan.
"Materi keberatan dari penasihat hukum terdakwa yang telah membahas atau memasuki materi pokok perkara lebih lanjut akan dibuktikan pada persidangan perkara pokok, sehingga bukan merupakan alasan materi keberatan," tutur jaksa.
Oleh karena itu, jaksa meminta majelis hakim melanjutkan persidangan perkara tata kelola minyak mentah ke tahap pembuktian. "Melanjutkan persidangan dengan agenda pemeriksaan materi pokok perkara," kata jaksa.
Eksepsi Riva Siahaan
Riva Siahaan sebelumnya menyebut uraian surat dakwaan perbuatan Riva yang menyebabkan kerugian negara Rp 285 triliun dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentahnya cerita fiksi. Tim kuasa hukum Riva menilai uraian dakwaan tidak masuk akal.
"Padahal tidak ada uraian sebab akibat dan kesalahan dari perbuatan Terdakwa secara pribadi, terdorong untuk menyimpang, dari perintah jabatan dalam perusahaan atas kepada kerugian negara itu. Karena itu, kerugian keuangan negara sebagai akibat perbuatan Terdakwa menjadi seperti suatu cerita fiksi, yang tidak masuk akal untuk Terdakwa, padahal peradilan membutuhkan fakta, bukan fiksi," kata tim kuasa hukum Riva Siahaan saat membacakan eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (16/10).
Dalam surat dakwaan, kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 285 triliun. Ada dua hal yang diduga menjadi pokok permasalahan, yaitu terkait impor produk kilang atau bahan bakar minyak (BBM) serta terkait penjualan solar nonsubsidi.
Berikut detail perhitungan kerugian negaranya:
1. Kerugian Keuangan Negara
• USD 2.732.816.820,63 atau USD 2,7 miliar atau Rp 45.091.477.539.395 atau Rp 45,1 triliun (Kurs Rp 16.500)
• Rp 25.439.881.674.368,30 atau Rp 25,4 triliun
Atau totalnya Rp 70.531.359.213.763,30 (Rp 70,5 triliun)
2. Kerugian Perekonomian Negara
• Kemahalan dari harga pengadaan BBM yang berdampak pada beban ekonomi yang ditimbulkan dari harga tersebut sebesar Rp 171.997.835.294.293 atau Rp 172 triliun
• Keuntungan ilegal yang didapat dari selisih antara harga perolehan impor BBM yang melebihi kuota dengan harga perolehan minyak mentah dan BBM dari pembelian yang bersumber di dalam negeri sebesar USD 2.617.683.340,41 atau USD 2,6 miliar atau Rp 43.191.775.117.765 atau Rp 43,1 triliun (kurs Rp 16.500 ribu)
Atau totalnya Rp 215.189.610.412.058 (Rp 215,1 triliun).
Nah dari kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara maka didapatkan Rp Rp 285.969.625.213.821,30 atau Rp 285 triliun lebih. Namun penghitungan ini menggunakan kurs rata-rata saat ini, tentunya jumlah itu akan berbeda apabila Kejagung menggunakan kurs lain.
Simak juga Video 'Kejagung soal Mafia Migas Riza Chalid Masih Buron':
(ond/zap)