Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus keracunan makanan massal menimpa ratusan siswa SD di Ketapang, Kalimantan Barat, usai mengkonsumsi hidangan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Salah satu menu yang disajikan dan menjadi sorotan adalah ikan hiu goreng, yang dinilai tidak lazim untuk konsumsi anak sekolah.
Kepala Regional MBG Kalbar, Agus Kurniawi, memastikan ikan hiu tersebut bukan hasil impor. "Ikan hiu itu dibeli dari TPI Rangga Sentap, produk lokal," ujarnya dikutip dari detik, Jumat (26/9/2025).
Agus menegaskan, pemilihan menu hiu merupakan kelalaian Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Menurutnya, ikan hiu bukanlah menu ramah anak karena jarang dikonsumsi sehari-hari dan berisiko mengandung merkuri.
"Harusnya menu yang dipilih itu yang digemari siswa. Anak-anak jarang sekali mengkonsumsi ikan hiu. Bisa saja ikan hiu ini memiliki kandungan merkuri. Itu yang sangat saya sesalkan," katanya.
Menu tersebut direkomendasikan ahli gizi dapur SPPG yang merupakan rekrutan lokal. Agus mengaku sempat marah karena pengabaian standar gizi berupa setiap porsi seharusnya berisi 30% protein, 40% karbohidrat, dan 30% serat.
Jika investigasi membuktikan makanan MBG menjadi penyebab keracunan, dapur SPPG yang dikelola Yayasan Adinda Karunia Ilahi akan ditutup permanen. Kepala SPPG juga sudah dinonaktifkan sementara.
"Kalau tidak terbukti, kami tetap akan melakukan evaluasi bersama Badan Gizi Nasional. Kepala SPPG tetap kami nonaktifkan hingga waktu yang belum ditentukan," ujar Agus.
Permintaan Maaf dan Evaluasi
Agus menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat serta berjanji menerapkan prinsip "zero accident" dalam program MBG di Kalbar. Ia juga menyebutkan, dari 211 dapur SPPG di 14 kabupaten/kota, jumlah penerima manfaat mencapai hampir 500 ribu jiwa.
Di Ketapang sendiri terdapat 22 dapur SPPG, masing-masing melayani 2.000-3.500 anak. Ke depan, kuota penerima manfaat akan dibatasi maksimal 2.000 per dapur untuk menjaga kualitas dan mencegah makanan basi.
"Masakan juga akan disesuaikan. Untuk makan siang dimasak pagi, sedangkan makan pagi dimasak sejak subuh sekitar pukul 03.00 WIB," jelas Agus.
IDAI: Keracunan Massal, Bukan Alergi
Ketua UKK Emergensi dan Terapi Intensif Anak IDAI, Dr. Yogi Prawira, SpA, Subsp. ETIA(K), menegaskan kasus di Ketapang menunjukkan pola keracunan massal, bukan alergi makanan.
"Kalau banyak anak terkena serentak setelah makan menu yang sama, ini jelas keracunan makanan," tegasnya.
Menurut Dr. Yogi, keracunan makanan muncul akibat makanan/minuman terkontaminasi bakteri (misalnya Salmonella atau E. coli), virus, parasit, hingga logam berat seperti merkuri. Gejalanya bisa berupa mual, muntah, diare, sakit perut, hingga dehidrasi. Pada kasus tertentu, racun juga dapat memicu gejala neurologis seperti pusing atau pandangan kabur.
Menurutnya, jenis-jenis ikan tertentu itu mengalami akumulasi sifatnya toksin, salah satunya logam seperti merkuri. Seperti ikan hiu maka akumulasi dari merkuri di tubuh ikan-ikan tersebut bisa lebih tinggi dibanding spesies ikan yang lain, sehingga sangat tidak disarankan untuk diberikan pada anak.
IDAI mengingatkan beberapa langkah penting:
Pertolongan pertama: istirahatkan anak, berikan cairan sedikit tapi sering, makanan lembut, hindari obat anti-diare tanpa anjuran dokter.
Waspadai tanda bahaya: dehidrasi, muntah tak henti, diare lebih dari 3 hari, atau demam tinggi persisten.
Pencegahan: jaga higienitas dapur dan kantin sekolah, pisahkan alat masak untuk daging/unggas/sayur, masak pada suhu aman, simpan makanan dengan benar, dan hindari ikan/produk berisiko tinggi bagi anak.
Kasus di Ketapang kini jadi peringatan nasional yakni program bergizi tidak cukup hanya soal kandungan nutrisi, tetapi juga keamanan pangan. Program MBG dinilai harus diperkuat dengan standar ketat agar niat baik tidak berubah jadi bencana kesehatan.
Respons BGN
Maraknya kasus keracunan ini membuat publik mendesak agar program MBG dihentikan. Menanggapi desakan tersebut, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menegaskan MBG tetap berjalan. Meski begitu, dia berjanji bakal memperkuat pengawasan dan koordinasi agar standar mutu dan keamanan pangan di semua dapur program semakin konsisten.
Dadan menjelaskan, MBG tetap harus berjalan karena sekitar 60% anak Indonesia disebut tidak memiliki akses menu gizi seimbang. Karenanya, kata dia, MBG diprioritaskan untuk sekolah-sekolah dengan mayoritas siswa dari kelas menengah ke bawah, terutama di daerah aglomerasi yang padat penduduk, tanpa membedakan kaya-miskin di dalam satu sekolah.
BGN menyebut prioritas perbaikan saat ini mencakup standarisasi dan pelatihan masak massal untuk (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) baru, dan pengawasan mutu bahan dan proses produksi di dapur MBG. Selain itu koordinasi lintas otoritas agar respons cepat saat ada kejadian luar biasa di lapangan. Pemetaan risiko berdasarkan kepadatan penduduk dan kondisi infrastruktur daerah juga menjadi prioritas perbaikan.
"Kita ingin menggapai 60% anak yang belum punya akses gizi seimbang. Kritik lebih banyak pada tata kelola? Kita perbaiki terus-menerus," tutur Dadan, dalam dialog di Foodagri Insight CNBC Indonesia, Kamis (25/9/2025).
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]