Jakarta -
Ketua Badan Pengkajian MPR RI Yasonna Laoly menegaskan pentingnya meninjau kembali pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam kerangka Demokrasi Pancasila. Ia menilai setelah lebih dari dua dekade reformasi, sudah saatnya demokrasi Indonesia dievaluasi agar tetap berpihak pada rakyat.
Hal tersebut disampaikan saat membuka Focus Group Discussion (FGD) Kelompok I Badan Pengkajian MPR bertema 'Kedaulatan Rakyat dalam Perspektif Demokrasi Pancasila' di Bintaro, Kota Tangerang Selatan, Banten, Rabu (5/11).
Ia menjelaskan Badan Pengkajian MPR memiliki mandat untuk mengkaji pelaksanaan UUD 1945 secara komprehensif dengan melibatkan partisipasi masyarakat sesuai Keputusan MPR Nomor 3 Tahun 2004.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Demokrasi yang kita jalankan sejak masa reformasi merupakan spirit utama perubahan konstitusi. Setelah lebih dari 20 tahun berjalan, sudah saatnya kita mereview dan melihat hal-hal yang perlu diperkuat," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (6/11/2025).
Menurutnya, penguatan perlindungan HAM, pelembagaan demokrasi, serta pembagian kekuasaan yang proporsional antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif menjadi bagian penting dalam menjaga makna kedaulatan rakyat.
"Konstitusi jangan hanya dimaknai secara prosedural. Kita perlu memastikan substansi kekuasaan tetap berpihak pada rakyat," sambungnya.
Yasonna menambahkan melalui forum tersebut, pihaknya berharap dapat menghimpun pandangan akademik dan publik untuk memperkuat pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan demokrasi nasional.
"FGD ini merupakan bagian dari upaya konstitusional MPR dalam memastikan kedaulatan rakyat berjalan sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945," tuturnya.
Sementara itu, Guru Besar Komunikasi Politik LSPR Jakarta Prof. Dr. Lely Arrianie menegaskan bahwa kedaulatan rakyat dalam Demokrasi Pancasila tidak boleh dipahami sekadar sebagai prosedur pemilihan umum.
"Demokrasi Pancasila muncul sebagai antitesis terhadap demokrasi terpimpin, tetapi esensinya lebih dalam: menegakkan hak hidup rakyat dan mencegah kekuasaan yang sewenang-wenang," jelasnya.
Ia menjelaskan sejak amandemen UUD 1945, frasa 'Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar' menunjukkan adanya visi konstitusional yang adaptif terhadap perubahan zaman.
"Kalau sistem yang ada tidak lagi relevan, konstitusi memberi ruang untuk penyesuaian. Ini pemikiran visioner yang perlu dijaga," ucapnya.
Menurutnya, demokrasi Pancasila mengandung tiga prinsip utama yang tak terpisahkan, yaitu human rights, substantive democracy, dan social justice.
"Esensi demokrasi kita bukan sekadar formalitas lembaga, tapi keseimbangan antara hak, kewajiban, dan tanggung jawab konstitusional," terangnya.
Praktik Demokrasi di Indonesia
Senada, Dosen FISIP Universitas Indonesia Cecep Hidayat menilai praktik demokrasi di Indonesia saat ini terlalu menitikberatkan pada aspek prosedural, sementara nilai-nilai substansial seperti musyawarah, keadilan sosial, dan etika politik mulai terpinggirkan.
"Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyebut kedaulatan di tangan rakyat. Pertanyaannya, apakah praktik kita masih mencerminkan nilai-nilai Pancasila?" katanya.
Menurutnya, demokrasi Pancasila tidak hanya tentang voting, melainkan juga musyawarah rasional dan partisipasi bermakna. Ia mengingatkan bahwa demokrasi integralistik yang digagas Soepomo pada 1945 berbeda dari liberalisme Barat, karena menolak ekstrem individualistik maupun otoriter.
Berdasarkan data BPS, Indeks Demokrasi Indonesia 2024 berada di angka 79,61 atau kategori sedang, sementara indeks persepsi korupsi Indonesia masih rendah, yakni skor 34 dari 100.
"Data ini menunjukkan lemahnya etika dan institusionalisasi politik," jelasnya.
Cecep juga menyinggung munculnya Gerakan 17+8 yang berkembang di media sosial sebagai bentuk partisipasi digital generasi muda.
"Gerakan itu menunjukkan kesadaran politik baru. Tapi ruang digital ini juga harus diatur dengan nilai etika Pancasila," lanjutnya.
Lebih lanjut, Founder Drone Emprit Ismail Fahmi, Ph.D., menyoroti era demokrasi digital yang menunjukkan perubahan perilaku publik.
"Sekarang publik lebih percaya timeline daripada parlemen. Pertanyaannya, ini tanda pencerahan atau gejala krisis kepercayaan?" ungkapnya.
Ia mencontohkan fenomena Gerakan 17+8 dan simbol warna seperti Brave Pink, Hero Green, dan Resistance Blue yang muncul secara organik di media sosial sebagai ekspresi solidaritas rakyat.
"Data kami mencatat ada sekitar 7 miliar interaksi digital terkait gerakan ini. Itu menunjukkan betapa kuatnya ruang digital sebagai arena baru kedaulatan rakyat," katanya.
Namun, Ismail juga menyoroti lambannya respons lembaga negara terhadap isu digital. Menurutnya,diperlukan pengelolaan isu digital yang sejalan dengan semangat dialog dan musyawarah terbuka.
"Ketika muncul hoaks soal DPR, mestinya klarifikasi dilakukan cepat. Karena tidak dilakukan, publik terus menyebarkan narasi keliru," tuturnya.
"Alih-alih menakuti, negara seharusnya menjadikan ruang digital sebagai Digital Civic Space, ruang musyawarah kebangsaan baru berbasis Pancasila," pungkasnya.
Sebagai informasi, FGD tersebut turut dihadiri pimpinan dan anggota Badan Pengkajian MPR RI, di antaranya Andreas Hugo Pareira, Ahmad Basarah, Firman Soebagyo, Endang Setyawati Thohari, I G Ngurah Kesuma Kelakan, Hasan Basri Agus, Al Muzzammil Yusuf, Andi Yuliani Paris, Jialyka Maharani, Denty Eka Widi Pratiwi, Al Hidayat Samsu, Yance Samonsabra, dan Aji Mirni Mawarni. Selain itu, hadir juga Sekretaris Jenderal MPR RI Siti Fauziah, Kepala Biro Pengkajian Konstitusi Setjen MPR Heri Herawan, serta para akademisi dan pakar komunikasi politik.
(akd/ega)

















































