Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah badai ketidakpastian ekonomi global, inflasi yang persisten, dan volatilitas pasar yang seolah tak berkesudahan, investor kembali berlari ke pelukan aset safe-haven klasik yaitu emas dan perak. Namun, sekadar ikut-ikutan membeli tidaklah cukup.
Pertanyaan krusial yang menentukan keberhasilan strategi ini adalah berapa porsi yang tepat untuk kedua logam mulia ini dalam sebuah portofolio investasi yang seimbang dan tangguh?
Jangkar Pelindung Kekayaan yang Tak Lekang oleh Waktu
Emas telah teruji selama ribuan tahun sebagai benteng penyimpan nilai yang andal. Fungsinya dalam portofolio modern sangat jelas yaitu sebagai instrumen diversifikasi dan pelindung nilai (hedging).
Emas memiliki korelasi yang cenderung negatif atau rendah dengan aset berisiko seperti saham. Artinya, ketika pasar saham dilanda aksi jual masif, harga emas justru berpotensi menanjak, memberikan efek penyeimbang yang vital bagi portofolio Anda.
Di Indonesia, peran emas menjadi semakin krusial. Ia tidak hanya berfungsi sebagai pelindung dari inflasi domestik, tetapi juga sebagai asuransi utama terhadap pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS.
Sebagai contoh, bahkan jika harga emas dunia dalam Dolar AS stagnan, namun Rupiah melemah 10%, maka nilai emas Anda dalam Rupiah secara otomatis akan meningkat sekitar 10%. Inilah fungsi lindung nilai yang tidak dimiliki banyak aset lain.
Si Gesit dengan Potensi dan Risiko Ganda
Perak sering dianggap sebagai "adik" dari emas, namun ia memiliki karakter yang jauh lebih kompleks dan volatil. Perak memang berfungsi sebagai aset moneter dan safe-haven, tetapi perbedaannya yang paling mendasar adalah ketergantungannya pada sektor industri. Lebih dari 50% permintaan perak global berasal dari pabrik, bukan brankas investor.
Perak adalah komponen vital dalam teknologi masa depan, terutama dalam agenda transisi energi hijau. Ia sangat dibutuhkan dalam pembuatan panel surya, kendaraan listrik (EV), dan jaringan 5G. Dualitas ini membuat harga perak memiliki dua mesin penggerak yaitu sentimen risk-off di pasar keuangan dan denyut nadi ekonomi riil.
Ketika ekonomi global berekspansi, permintaan industri yang meroket dapat mendorong harga perak naik lebih tajam daripada emas. Namun, saat ekonomi melambat atau resesi, permintaan industri yang anjlok dapat menekan harganya lebih dalam. Inilah mengapa perak menawarkan potensi keuntungan persentase yang lebih tinggi, namun dengan risiko yang juga jauh lebih besar.
Apa Kata Para Maestro Keuangan Global?
Para pakar keuangan dunia sepakat bahwa logam mulia wajib ada dalam portofolio, meski dengan porsi yang berbeda.
-
Ray Dalio (Pendiri Bridgewater Associates)
Dikenal dengan portofolio "All Weather" yang dirancang untuk tahan di segala musim ekonomi, Dalio merekomendasikan porsi 7.5% hingga 15% untuk emas sebagai pelindung dari devaluasi mata uang atau krisis moneter. -
Kevin O'Leary (Chairman, O'Shares ETFs). Investor "Mr. Wonderful" dari acara "Shark Tank" ini secara konsisten menyatakan bahwa ia mengalokasikan 5% dari portofolionya ke dalam emas fisik. Baginya, angka ini adalah "polis asuransi" yang tidak bisa ditawar.
-
Jim Cramer (Pembawa Acara "Mad Money" di CNBC)
Cramer menyarankan investor untuk memiliki alokasi hingga 10% dalam bentuk emas. Ia melihatnya sebagai lindung nilai yang esensial terhadap ketidakpastian dan inflasi, menyebutnya sebagai "asuransi terhadap kekacauan." -
Mark Mobius (Pendiri Mobius Capital Partners)
Sebagai investor legendaris di pasar negara berkembang, Mobius juga menyarankan alokasi 10% pada emas fisik, menekankan pentingnya memiliki aset yang tidak berkorelasi dengan pasar keuangan.
Foto: Ray Dalio. Dok: CNBC Internasional
Ray Dalio. Dok: CNBC Internasional
Siapa Saja Pakar Global yang Merekomendasikan Perak?
Berbeda dengan emas, perak adalah aset yang lebih polarisasi. Namun, beberapa pakar keuangan global yang vokal sangat merekomendasikan perak, sering kali dengan alokasi yang jauh lebih agresif. Berikut adalah pandangan mereka.
-
Robert Kiyosaki (Penulis "Rich Dad Poor Dad")
Kiyosaki tidak menggunakan persentase, karena ia memandang perak sebagai "uang sejati", bukan sekadar aset investasi. Baginya, alokasi harus sangat signifikan, menjadikannya sebagai aset inti untuk melindungi diri dari runtuhnya sistem mata uang fiat. -
Mike Maloney (Pakar Sejarah Moneter & Penulis).
Berdasarkan analisisnya terhadap rasio emas-perak dan ledakan permintaan industri, Maloney merekomendasikan alokasi yang substansial. Bagi investor yang percaya pada tesisnya, porsi 10% hingga 20% dari total portofolio dalam bentuk perak dianggap masuk akal. -
Pandangan Mainstream (Manajer Investasi & Perencana Keuangan)
Mayoritas pakar keuangan arus utama memandang perak sebagai aset satelit yang spekulatif karena volatilitasnya yang ekstrem. Alokasi yang disarankan sangat kecil, biasanya hanya 1% hingga 5% dari total portofolio, dengan tujuan sebagai "penendang" imbal hasil, bukan sebagai pelindung utama.
Foto: Robert Kiyosaki, dok Basabali.org
Robert Kiyosaki, dok Basabali.org
-
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(gls/gls)