Akuisisi F-15EX oleh Indonesia: Jadi atau tidak?

1 hour ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Di antara kritik terhadap pengadaan pesawat tempur oleh Indonesia sejak tahun 2000-an sampai kini ialah terlalu beragam model pesawat tempur yang dibeli. Setelah pada era Orde Baru hanya mengoperasikan empat jenis jet tempur dari dua negara, selanjutnya pasca 2000 terdapat dua tambahan tipe penempur dari dua negara lain.

Saat ini TNI Angkatan Udara menerbangkan empat varian jet tempur, termasuk pesawat latih, yang disuplai oleh empat negara, di mana semuanya memiliki rantai pasok global yang melampaui batas wilayah negara produsen.

Alasan Indonesia mengadopsi kebijakan diversifikasi pesawat tempur dari berbagai negara adalah trauma embargo Amerika Serikat, suatu alasan yang sekarang perlu dipertanyakan relevansinya sekaligus mencerminkan pemahaman yang rendah terhadap rantai pasok global yang mendukung keberadaan industri dirgantara dunia.

Sebagai konsekuensi menganut kebijakan diversifikasi tipe penempur adalah tantangan logistik yang mempunyai ramifikasi pada penyiapan sumberdaya manusia yang akan memelihara dan merawat produk-produk yang berbeda. Empat jenis pesawat tempur berarti menciptakan empat silo logistik yang berbeda dan berdiri sendiri.

Pada sisi lain, selama puluhan tahun anggaran pemeliharaan dan perawatan pesawat tempur tidak pernah memenuhi kebutuhan nyata yang berimplikasi pada tingkat kesiapan operasional yang tidak optimal. Begitu pula dengan ketersediaan suku cadang di pasar internasional, di mana isu tersebut bukan semata tentang waktu yang diperlukan hingga suku cadang diterima di Indonesia, tetapi pula terdapat kelangkaan suku cadang karena beberapa alasan.

Saat pelaksanaan Minimum Essential Force (MEF) 2010-2024 tahap ketiga, Indonesia memutuskan untuk membeli 42 pesawat tempur Rafale dari Prancis. Salah satu pandangan kritis terhadap akuisisi penempur buatan Dassault Aviation adalah Kementerian Pertahanan terlalu fokus pada pengadaan wahana (platform) dan hampir melupakan pembelian Integrated Logistic System (ILS) guna mendukung kesiapan operasional nantinya.

Sebagai contoh ialah pengadaan spare engine yang tercakup dalam kontrak dengan jumlah yang amat sedikit dibandingkan dengan kuantitas wahana yang didatangkan. Seperti diketahui, Rafale yang menggunakan sistem pendorong M88-4E buatan Safran Aircraft Engines merupakan jet tempur bermesin ganda.

Ketika program pembangunan kekuatan pertahanan jangka panjang telah memasuki era Optimum Essential Force (OEF) pada 2025, pemerintah masih melakukan revisi terhadap kuota Pinjaman Luar Negeri (PLN) untuk MEF fase ketiga dengan menambahkan anggaran senilai US$9,7 miliar.

Sebelumnya pada 28 November 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah memotong alokasi PLN untuk Kementerian Pertahanan dari US$34,4 miliar menjadi US$25 miliar. Dari kuota US$9,7 miliar, US$1,6 miliar dialokasi bagi akuisisi pesawat tempur J-10B dari China yang merupakan salah satu varian langka di dunia. Sebab jumlah penempur bekas itu hanya berkisar 60 unit saja, begitu pula dengan populasi sistem pendorong AL-31FN yang diproduksi oleh Saturn, Rusia khusus untuk J-10B.

Rencana mengimpor J-10B kian memperkaya diversifikasi jet tempur yang dioperasikan oleh Indonesia andaikata rancangan demikian terwujud. Sumberdaya TNI Angkatan Udara sebagai operator akan semakin terkuras guna menyiapkan operasional dua tipe penempur baru, yakni Rafale dan J-10B.

Sementara dari empat jenis pesawat tempur yang kini dioperasikan, belum jelas kapan jet tempur seperti Hawk 100/200 dan Sukhoi Su-27/30 akan dipensiunkan. Penempur buatan Inggris dan Rusia tersebut selama ini mengalami kesulitan suku cadang untuk berbagai subsistem, termasuk sistem pendorong, sehingga tingkat kesiapan operasional tidak sebagaimana seharusnya.

Armada F-16 masih menjadi andalan utama bagi operasi-operasi yang dilaksanakan oleh TNI Angkatan Udara. Namun, tidak semua armada F-16 mempunyai kemampuan yang sama, sebab baru delapan dari 33 F-16 yang memiliki kemampuan tempur seperti Beyond Visual Range.

Isu ketersediaan suku cadang radar seperti komponen Common Radar Processor (CoRP) menjadi tantangan tersendiri mengingat produsen CoRP, yakni Westinghouse sudah diserap oleh Northrop Grumman. Mengingat bahwa seluruh armada F-16 Indonesia adalah produksi era 1980-an, merupakan hal yang lumrah bila terdapat sejumlah komponen yang langka di pasar sebab komponen itu sudah tidak diproduksi lagi atau pembuat komponen telah diakuisisi oleh pabrikan lain.

Dengan kondisi demikian, pilihan yang tersedia bagi F-16 Indonesia adalah apakah akan melakukan peningkatan kemampuan sehingga menjadi standar F-16 Viper ataukah akan mengakhiri dinas penempur buatan General Dynamics tersebut sebelum 2040? Setidaknya telah ada contoh dua Angkatan Udara yang meningkatkan kemampuan armada F-16 menjadi standar F-16 Viper, yaitu Republik Korea dan Republik Cina (Taiwan).

Akan tetapi tantangan yang mungkin dihadapi oleh Indonesia guna menuju standar F-16 Viper perlu diantisipasi juga, baik secara teknis maupun finansial. Sampai saat ini belum jelas bagaimana kebijakan Kementerian Pertahanan terhadap F-16, apakah rencana meningkatkan kemampuan menjadi standar F-16 Viper akan dilanjutkan atau tidak.

Sejak beberapa tahun lalu, Indonesia sudah mengutarakan niat untuk melakukan akuisisi F-15EX asal Amerika Serikat guna meningkatkan kemampuan pertahanan udara. Namun sikap Indonesia terkait rencana tersebut pasang surut sebagaimana tercermin dalam beberapa kali revisi Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah 2020-2024.

Dari sisi nilai program, diperkirakan nilai program F-15EX tidak akan jauh berbeda dengan Rafale, walaupun mungkin berbeda secara kuantitas. Sebagaimana diketahui, program Foreign Military Sales (FMS) untuk pesawat tempur bukan saja mencakup wahana, tetapi juga paket ILS hingga beberapa tahun mendatang dan paket pelatihan penerbang.

Pada 2024, Kementerian Pertahanan menerbitkan Letter of Request (LOR) kepada US Office of Defense Cooperation (USODC) Jakarta untuk akuisisi penempur yang dirancang oleh McDonnell Douglas tersebut. Di tahun yang sama, USODC merespons LOR dengan mengeluarkan Letter of Offer and Acceptance (LOA) kepada Kementerian Pertahanan.

Namun hingga Offer Expiration Date (OED) yang ditentukan, Kementerian Pertahanan tidak pula menandatangani LOA F-15EX. Diduga hal demikian disebabkan oleh isu anggaran, baik nilai program secara keseluruhan maupun kewajiban Indonesia untuk melaksanakan pembayaran deposit kepada rekening yang dikelola oleh Defense Finance and Accounting Service (DFAS) dalam masa 30 hari kalender sesudah LOA diteken.

Kementerian Pertahanan kembali mengeluarkan LOR kepada US Military Group (USMLGP) pada semester pertama 2025 yang telah dijawab oleh USMLGP dengan menerbitkan LOA kedua bagi program F-15EX beberapa bulan lalu.

Mengutip sumber yang mengetahui isu tersebut, OED LOA tersebut adalah sebelum pertengahan Desember 2025. Menjadi pertanyaan apakah Kementerian Pertahanan akan meneken LOA kedua ataukah gagal memenuhi batas waktu yang ditentukan dengan alasan ketersediaan pendanaan program?


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |