Jakarta, CNBC Indonesia- Di langit, tiga kekuatan dunia Amerika Serikat (AS), China, dan Eropa sedang berlomba membangun otak tempur di udara.
China menggebrak panggung dunia dengan klaim jet tempur generasi keenam pertama yang sudah mengudara, J-36. Raksasa udara berbobot hampir 119.000 pon ini dirancang untuk menembus wilayah Pasifik, dengan radius tempur 1.500 mil laut (1.725 mil).
Ini lebih jauh dari jet generasi kelima mana pun. J-36 dirancang untuk melakukan blokade udara terhadap armada AS seperti B-21 Raider, bahkan hingga dua jam penuh, didukung senjata internal yang bisa melebihi 10.000 pon. Desain kokpit ganda memungkinkan pilot mengendalikan drone pendamping secara real time. Targetnya, mendominasi.
Foto: Pesawat siluman J-35A terbang selama Pameran Penerbangan dan Dirgantara Internasional China, atau Airshow China, di Zhuhai, provinsi Guangdong, China, 12 November 2024. (cnsphoto via REUTERS)
Pesawat siluman J-35A terbang selama Pameran Penerbangan dan Dirgantara Internasional China, atau Airshow China, di Zhuhai, provinsi Guangdong, China, 12 November 2024. (cnsphoto via REUTERS)
Tak tinggal diam, AS memperkenalkan F-47, bagian dari program Next-Generation Air Dominance (NGAD). Jet ini digadang sebagai "Stealth++", generasi siluman yang melampaui F-35 maupun F-22.
Dengan kecepatan melebihi Mach 2 dan radius tempur 1.000 mil laut, F-47 mampu menyerang jauh ke dalam wilayah musuh tanpa perlu pengisian ulang bahan bakar. Lebih dari itu, F-47 akan bersinergi dengan drone loyal wingman dan dipersenjatai AI untuk pengambilan keputusan cepat di segala lini tempur udara, laut, darat, siber, hingga luar angkasa.
Eropa tak ingin hanya menjadi penonton. Lewat kolaborasi Inggris, Italia, dan Jepang, proyek GCAP Tempest disiapkan sebagai pengganti Eurofighter Typhoon.
Jet ini diprediksi mulai aktif tahun 2035, membawa kapasitas senjata internal dua kali lipat F-35A, hingga 10.000 pon, dan bisa melintasi Atlantik tanpa pengisian bahan bakar.
Dengan AI, jet ini akan menjadi pusat kendali bergerak, mengintegrasikan data dari satelit, pasukan darat, hingga drone. Di tengah kompleksitas perang modern, Tempest menjanjikan kemampuan membaca dan mengeksekusi strategi dalam sekejap.
Yang menarik, tidak ada definisi tunggal soal apa itu jet tempur generasi keenam. Namun para pakar sepakat, siapa lebih dulu melihat, biasanya menang.
Karena itu, fokus utama kini bukan hanya siluman, tetapi sensor-sensor canggih, jangkauan panjang, dan kecerdasan buatan yang mampu membuat keputusan dalam hitungan detik. Jet-jet ini bukan lagi alat perang biasa, melainkan otak komando yang bisa menghubungkan seluruh cabang militer dalam satu sistem tempur terintegrasi.
Foto: 6th Generation Fitgher Jet. (Tangkapan Layar GCAP via baesystems)
6th Generation Fitgher Jet. (Tangkapan Layar GCAP via baesystems)
Namun di balik teknologi yang memesona, tersimpan dilema etis tentang siapa yang menekan tombol tembak? Apakah pilot, atau AI? Apakah algoritma bisa dipercaya untuk menentukan hidup dan mati?
Dunia mungkin tengah menyaksikan babak baru perang udara, tapi juga membuka bab soal hukum, moral, dan tanggung jawab manusia dalam perang modern. Bahkan dalam teknologi setinggi langit, keputusan tetaplah perkara hati dan nalar manusia.
Bukan masalah paling cepat atau paling senyap saja, tapi juga pengaruh dan dominasi geopolitik.
Amerika, China, dan Eropa tahu siapa yang menguasai udara, akan menguasai peperangan. Dan mungkin, masa depan dunia.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)