Viral Debt Collector Tarik Motor di Jalan, Leasing Ungkap Fakta Hukum

3 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Ramainya video penarikan motor oleh debt collector yang beredar di media sosial kembali memicu perdebatan publik. Banyak warganet mempertanyakan etika hingga legalitas praktik tersebut, sementara industri pembiayaan menilai persoalan ini kerap dipahami setengah-setengah.

Di tengah memanasnya opini publik, Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) buka suara untuk meluruskan duduk perkara yang sebenarnya terjadi di lapangan.

Ketua Umum APPI Suwandi Wiratno mengatakan, masyarakat sering terpancing oleh potongan video kejadian tanpa mengetahui proses panjang yang mendahului penarikan. Ia menjelaskan, penilaian publik yang menyalahkan satu pihak kerap tidak berdasar karena faktanya kasus kredit macet selalu melalui tahapan administrasi yang panjang sebelum sampai pada proses eksekusi.

"Berkaitan dengan viralnya kasus debt collector di media sosial, masyarakat sering kali melihat potongan kejadian di lapangan tanpa memahami akar masalah. Banyak yang langsung menyalahkan debt collector, padahal sebelum proses penarikan dilakukan, debitur biasanya sudah berkali-kali diberikan surat peringatan," katanya kepada CNBC Indonesia, Jumat (12/12/2025).

Persoalan makin rumit ketika debitur justru menghilang atau menjual kendaraan yang masih menjadi objek jaminan. Masyarakat perlu memahami, tindakan seperti itu memicu konsekuensi hukum dan operasional bagi perusahaan pembiayaan. Situasi semacam ini, menurutnya, sering kali luput dari perhatian publik karena yang terlihat hanya momen penarikan di jalan.

"Jika debitur menghilang atau justru menjual jaminan kepada pihak ketiga, maka penarikan kendaraan menjadi konsekuensi. Karena itu, yang harus dilihat adalah akar persoalannya, bukan hanya situasi di lapangan ketika penarikan terjadi," ujar Suwandi.

Suwandi juga menyoroti kecenderungan publik yang langsung menyalahkan debt collector ketika penarikan terjadi. Padahal, posisi debt collector adalah pelaksana tugas ketika kredit macet sudah melewati batas toleransi, sementara perusahaan pembiayaan memiliki kewajiban menjaga stabilitas keuangan mereka.

Ia mengingatkan, efek domino dari kredit macet bukan hanya merugikan perusahaan, tetapi juga dapat mengganggu perbankan dan pada akhirnya berdampak ke masyarakat luas.

"Ketika terjadi penarikan, justru debt collector yang disalahkan. Padahal tugas debt collector adalah mencari jaminan ketika debitur tidak membayar. Perusahaan pembiayaan juga punya kewajiban menjaga keuangan mereka. Jika kredit macet dibiarkan, bank yang meminjamkan dana bisa terganggu, dan itu akhirnya berdampak pada tabungan masyarakat. Kalau perilaku ini terus dibiarkan, sistem pembiayaan bisa kacau," sebutnya.

Karenanya perlu dipahami kronologi secara utuh, bukan hanya melihat adegan akhir ketika kendaraan ditarik. Pasalnya banyak kasus berawal dari ketidakpatuhan debitur yang mengabaikan peringatan hingga menjual kendaraan kepada pihak yang hanya memegang STNK tanpa BPKB. Fenomena ini semakin sering terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat mengenai risiko hukum maupun finansial.

"Jadi jangan hanya dilihat momen ketika debt collector menarik kendaraan, tetapi harus menelusuri prosesnya dari awal. Termasuk bagaimana debitur tidak membayar, mengabaikan peringatan, hingga kendaraan berpindah tangan kepada orang yang hanya membeli STNK," sebutnya.

Karenanya edukasi publik harus ditingkatkan agar masyarakat memahami bahaya membeli kendaraan tanpa dokumen lengkap. Ia mendorong literasi finansial yang lebih kuat agar kasus serupa tidak terus berulang dan menimbulkan konflik di lapangan.

"Edukasi publik perlu terus diperkuat agar masyarakat memahami risiko membeli kendaraan tanpa BPKB," ujarnya.

(dce)
[Gambas:Video CNBC]

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |