Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Sudah menjadi rutinitas, setiap akhir tahun berbagai lembaga ekonomi merilis ramalan kondisi ekonomi tahun depan. Salah satu indikator utama yang sering "diramal" adalah seberapa besar pertumbuhan ekonomi tahun mendatang.
IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 4,7% untuk 2026, sementara World Bank memperkirakan 5%, dan ADB sekitar 5%. Prediksi pertumbuhan tersebut seperti mengonfirmasi bahwa pertumbuhan belum bisa beranjak dari seputaran angka 5%, alias hampir tidak bergeser sejak era pemerintahan Jokowi.
Pemerintah dalam APBN 2026 memamtok angka pertumbuhan 5,4% di 2026, meski dalam beberapa pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudi Sadewa yakin bisa mencapai 6%. Target ini dianggap sebagai batu loncatan menuju pertumbuhan 8% pada 2029. Namun, dibalik angka-angka makro tersebut menyembunyikan paradoks mendasar dalam struktur ekonomi, yang perlu segera dicari solusinya.
Dari sisi pelaku usaha, pertumbuhan ekonomi merupakan kontribusi dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta usaha besar. Dari sekitar 64 juta unit usaha, 99,9% merupakan UMKM. Ironisnya, meski hampir semua pelaku usaha adalah UMKM, tapi hanya menyumbang sekitar 60% terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara usaha besar alias korporasi berkontribusi 40% terhadap PDB, meski jumlah unit usahanya hanya 0,01%.
Lebih paradoks lagi, usaha besar hanya menyerap 3% tenaga kerja, sementara 97% tenaga kerja menjadikan UMKM sebagai tumpuan mencari nafkah. Ibaratnya, kue ekonomi dinikmati segelintir pelaku usaha besar, sementara beban sosial ditanggung jutaan UMKM.
Ekonomi Kompleks dan Jebakan Struktural
Mengapa problem tersebut tak jua terselesaikan? Untuk tahu jawabannya, kita perlu melihat dari perspektif yang lebih luas. Brian Arthur (2013) memperkenalkan complexity economics (ekonomi kompleks), yaitu cara pandang bagaimana melihat ekonomi bukan sebagai mesin yang berjalan linear dan bisa diprediksi, melainkan sebagai sistem kompleks yang terus berevolusi.
Dalam sistem kompleks, para pelaku ekonomi tidak berjalan secara terpisah. Mereka saling bergantung, membentuk jaringan hubungan yang dinamis. Keputusan satu pelaku akan mempengaruhi yang lain, menciptakan efek domino yang kadang tidak terduga. UMKM dan usaha besar, dalam konteks ini, adalah bagian dari ekosistem ekonomi yang sama. Mereka bisa saling menguatkan, atau malah sebaliknya, saling merugikan jika hubungannya timpang.
Usaha besar, dengan modal, teknologi, dan jaringan yang kuat, mengalami increasing returns (semakin besar, semakin mudah untuk membesar lagi). Sementara itu, mayoritas UMKM terjebak dalam lock-in struktural alias mengalami kesulitan akses modal, teknologi terbatas, dan pasar yang sempit. Meski UMKM bekerja keras, tetapi hasilnya tidak bisa membuat naik kelas menjadi usaha besar, karena "aturan ekosistem" yang timpang.
Di sinilah kemitraan strategis menjadi krusial. Dalam bahasa ekonomi kompleksitas, kemitraan yang baik akan menciptakan "co-evolution." UMKM dan usaha besar tumbuh bersama, saling menyesuaikan, dan membentuk ekosistem bisnis yang lebih sehat. Bukan kompetisi sampai mati, tapi adaptasi bersama untuk bertahan dan berkembang.
Regulasi dan Tantangan Pelaksanaan
Sebenarnya, Indonesia tidak kekurangan regulasi. Pemerintah sudah membuat kerangka hukum yang cukup lengkap untuk mendorong kemitraan UMKM dan usaha besar. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM (UU 20/2008) secara eksplisit mewajibkan kemitraan.
Regulasi ini diperkuat dengan berbagai peraturan turunannya. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2013 yang kemudian digantikan dengan PP Nomor 7 Tahun 2021 menjelaskan pola kemitraan seperti inti-plasma, subkontrak, waralaba, atau distribusi.
Khusus di sektor perkebunan, Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 7 Tahun 2017 (yang kemudian diganti dengan Peraturan Menteri ATR Nomor 18 Tahun 2021) dan UU Cipta Kerja mewajibkan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) untuk memfasilitasi kebun masyarakat minimal 20% melalui kemitraan inti-plasma. Ketentuan ini juga menjadi syarat izin usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007.
Masalahnya ada di pelaksanaan. Dalam beberapa perkara kemitraan yang ditangani KPPU (sesuai mandat UU 20/2008), diketahui banyak kasus bahwa skema kemitraan yang seharusnya memberdayakan justru menjadi alat "eksploitasi" baru. Ambil contoh petani plasma kelapa sawit. Mereka sudah susah payah mengolah lahan, tapi ketika panen tiba, pilihan mereka cuma satu, yaitu harus menjual ke perusahaan inti dengan harga yang ditentukan sepihak.
Pola yang sama terulang di berbagai sektor. UMKM lebih diposisikan sebagai subordinat, bukan mitra setara. Padahal, kemitraan yang sejati seharusnya membuka peluang, bukan mempersempit ruang gerak. Pertanyaannya, mengapa regulasi yang sudah lengkap itu gagal mengubah realitas di lapangan?
Membangun Kemitraan Efektif: Pembelajaran dan Strategi
Kalau mau belajar soal kemitraan, Jepang dan Korea Selatan (Korsel) adalah pilihan tepat. Toyota, misalnya, punya sistem keiretsu (jaringan kemitraan jangka panjang dengan ribuan pemasok kecil). Ini bukan cuma hubungan bisnis transaksional "saya beli, kamu jual." Mereka berbagi teknologi, memberikan pelatihan manajemen, bahkan dukungan finansial untuk memastikan pemasok kecil bisa mengikuti standar kualitas Toyota. Hasilnya? Rantai pasokan yang tangguh dan efisien.
Korsel punya cerita serupa dengan konglomerasi besarnya alias chaebol. Pemerintah Korsel mewajibkan chaebol membina UMKM lewat program sistematis. Bukan asal bina, tapi dengan target jelas, yaitu membuat UMKM Korsel kompetitif di pasar global. Dan mereka berhasil, banyak UMKM Korsel yang sekarang jadi pemain kelas dunia di niche market tertentu.
Apa rahasia mereka? Sederhana, yaitu kemitraan dibangun atas dasar kebutuhan bersama yang nyata, bukan karena terpaksa memenuhi regulasi. Ketika kedua belah pihak melihat manfaat konkret dari kerja sama, kemitraan akan berjalan dengan sendirinya, tanpa perlu diawasi terus-menerus. UMKM butuh pasar, teknologi, dan modal. Usaha besar butuh pasokan stabil dan jangkauan luas. Ini win-win solution yang alami, bukan win-lose yang dipaksakan.
Indonesia perlu menggeser paradigma kemitraan. Kemitraan harus beranjak dari regulatory burden menjadi core business strategy. Untuk itu, setidaknya ada tiga langkah yang harus dilakukan. Pertama, revisi aturan agar skema kemitraan lebih adil. Misalnya, ada transparansi harga bagi UMKM dan ada menakanisme yang jelas agar UMKM memiliki posisi sejajar dengan usaha besar yang menjadi mitranya.
Kedua, ubah insentif bagi korporasi. Konkretnya, berikan insentif pajak atau kemudahan izin bagi yang menjalankan kemitraan secara transformatif, bukan sekadar formalitas. Dan yang ketiga, perkuat literasi UMKM melalui program pendampingan yang dipandu akademisi dan praktisi.
Dalam perspektif ekonomi kompleksitas, ketiga langkah tersebut adalah upaya menata ulang "fitness landscape" ekonomi. Kita perlu menciptakan sebuah ekosistem di mana setiap pelaku usaha (dari yang terbesar hingga yang terkecil) dapat menemukan ceruknya dan berkontribusi maksimal sesuai kapasitasnya.
Penataan ulang tersebut harus diletakkan dalam konteks strategi industrialisasi. Untuk itu, kita bisa menerapkan kerangka konsep DAI (distinctive, adaptive, dan inclusive)--sebuah kerangka nilai dalam menyusun kebijakan industri yang menekankan keunikan kompetitif, responsivitas terhadap perubahan, dan integrasi semua pemangku kepentingan.
Konsep DAI yang disusun Dany Amrul Ichdan dalam buku "Indonesia Naik Kelas" (2025) bisa menjadi penunjuk arah bagaimana kemitraan bertransformasi. Distinctive berarti kemitraan harus membangun keunggulan kompetitif yang unik, disesuaikan dengan karakteristik lokal. Kemitraan di sektor perkebunan Sumatera, misalnya, tidak bisa dipaksakan sama dengan kemitraan di industri kreatif Jawa atau perikanan di Maluku.
Adaptive menggarisbawahi pentingnya fleksibilitas dan responsivitas terhadap perubahan pasar, teknologi, dan preferensi konsumen. Skema kemitraan harus dirancang dengan mekanisme evaluasi dan penyesuaian berkala.
Platform digital bisa membuat kemitraan lebih adaptif, yaitu berupa harga transparan dan update real-time, komunikasi lebih mudah, dan data untuk pengambilan keputusan lebih akurat. UMKM yang terhubung dengan korporasi melalui platform digital bisa menyesuaikan produksi berdasarkan demand forecasting yang lebih baik.
Inclusive adalah jantung dari reformasi kemitraan. Semua stakeholder harus punya suara dan mendapat manfaat proporsional. UMKM harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, bukan sekadar penerima instruksi.
Forum dialog reguler antara perusahaan inti dan mitra UMKM harus dilembagakan, dengan mekanisme negosiasi yang adil. Inklusivitas juga berarti membuka akses bagi pelaku usaha di daerah terpencil, perempuan pengusaha, atau komunitas adat yang mengelola sumber daya lokal.
Ketika ketiga elemen DAI ini diterapkan secara konsisten, kemitraan tidak lagi menjadi hubungan patron-klien yang eksploitatif, melainkan kolaborasi strategis yang resilient dan berkelanjutan. Inilah yang dilakukan Toyota dan Samsung, mereka tidak hanya membangun supplier network, tetapi ekosistem yang distinctive, adaptive, dan inclusive.
Tidak ada yang rugi dalam skema ini. Usaha besar tetap tumbuh, bahkan bisa lebih efisien karena memiliki pemasok yang andal. UMKM mendapat tangga untuk naik kelas, dari sekadar bertahan menjadi kompetitif. Ekonomi nasional tumbuh lebih inklusif, kesejahteraan lebih merata.
Tapi untuk sampai ke sana, perlu ada perubahan mindset, baik di kalangan pelaku usaha maupun pembuat kebijakan. Kemitraan bukan charity atau sejenis CSR. Ini strategi bisnis jangka panjang yang menguntungkan semua pihak.
Kini, pertanyaannya bukan lagi "apakah kita butuh kemitraan yang lebih baik?" Jawabannya jelas: ya. Pertanyaan yang lebih mendesak adalah: "kapan kita mulai serius mewujudkannya?" Karena setiap hari yang berlalu tanpa perubahan, paradoks ekonomi Indonesia akan semakin mengakar, dan pastinya semakin sulit untuk diperbaiki.
(miq/miq)


















































