Jakarta, CNBC Indonesia - Seorang TikToker dengan lebih dari 100.000 pengikut ditembak mati di depan kerumunan masyarakat. Pelaku penembakan diduga merupakan kelompok jihadis di Mali.
The Guardian menuliskan insiden ini menunjukkan bagaimana kontrol negara telah terkikis di negara Afrika tersebut.
Sebagai informasi, TikToker bernama Mariam Cisse kerap menggunakan seragam 'tempur' dalam unggahan videonya. Hal itu dilakukan sebagai bentuk dukungannya terhadap militer negara.
Menurut Yehia Tandina, walikota wilayah Timbuktu, Mariam Cisse diculik di sebuah pasar pada Jumat (7/11) waktu setempat oleh orang-orang bersenjata yang tak dikenal.
Keesokan harinya di pagi buta, orang-orang bersenjata itu membawa Mariam Cisse ke Independence Square di Tonka. Sang TikToker lalu dieksekusi mati di hadapan publik, menurut penuturan Tandina kepada Associated Press.
Lebih lanjut, Tandina mengatakan Mariam Cisse yang diyakini baru berusia 20 tahunan, sudah menerima banyak teror ancaman pembunuhan sebelum insiden tersebut.
Tidak ada yang mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut, tetapi Jama'at Nusrat al-Islam wal-Muslimin (JNIM), kelompok yang terkait dengan al-Qaida, diketahui berpatroli di Tonka, yang berjarak sekitar 90 mil dari Timbuktu.
"Perempuan muda ini hanya ingin mempromosikan komunitasnya melalui unggahan TikTok dan mendukung militer Mali dalam menjalankan misi mereka melindungi masyarakat," kata seorang reporter di televisi nasional.
Konflik di Mali dimulai pada 2012 silam, ketika pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Tuareg dibajak oleh kelompok-kelompok jihadis yang terkait dengan al-Qaeda dan kemudian ISIS.
Meskipun ada intervensi yang dipimpin Prancis dan misi perdamaian PBB, kekerasan menyebar ke wilayah selatan karena para pemberontak mengeksploitasi keluhan lokal, korupsi, dan pemerintahan yang lemah.
Militer mengambil alih kendali negara melalui kudeta beruntun pada 2020 dan 2021, yang kemudian memicu ketegangan dengan sekutu Barat. Junta militer mengusir pasukan Prancis dan PBB, menuduh mereka ikut campur dalam isu-isu hak asasi manusia, dan beralih ke Rusia untuk mendapatkan dukungan, termasuk dari tentara bayaran Wagner.
Militer gagal mengakhiri pemberontakan, meskipun telah berjanji untuk meningkatkan keamanan, dan ketegangan pun muncul di dalam jajarannya.
"Perebutan kekuasaan justru memperdalam perpecahan, memecah belah militer antara loyalis rezim yang memiliki hak istimewa dan mereka yang dikirim ke garis depan," kata Rama Yade, direktur senior Pusat Afrika di lembaga think tank Atlantic Council.
"Ditambah dengan kepergian pasukan internasional dari Mali, fragmentasi ini menyebabkan posisi-posisi yang ditinggalkan, senjata jatuh ke tangan separatis, dan jihadis memperluas kekuasaan mereka di wilayah pedesaan utara," ia menambahkan.
Kelompok jihadis memperketat kontrol mereka terhadap rute suplai kebutuhan pokok dari wilayah tetangga, Cote d'Ivoire, Mauritania, dan Senegal. Para pasukan JNIM telah melakukan pemblokiran bahan bakar sejak September lalu, sehingga menyebabkan kelumpuhan pada sistem transportasi.
Rumah sakit kesusahan beroperasi dan pemerintah terpaksa memaksa penutupan aktivitas sekolah dalam kurun waktu yang tidak bisa ditentukan. Di Bamako dan beberapa kota lain, antrean mengular untuk mengakses makanan dan bahan bakar dengan harga tinggi.
Prancis, Amerika Serikat (AS), Jerman, dan Italia, telah mengeluarkan instruksi kepada warga negara mereka untuk meninggalkan Mali sesegera mungkin dengan penerbangan komersil.
Meski junta memegang kekuasaan saat ini, namun para analis mengatakan keruntuhan rezim sepertinya akan terjadi dalam beberapa pekan atau bulan ke depan.
Dalam pernyataan pada akhir pekan, Uni Afrika mengekspresikan duka mendalam terhadap situasi mencekam di Mali. Uni Afrika meminta koordinasi internasional untuk membantu junta mengembalikan stabilitas negara.
Kondisi yang tidak stabil saat ini memicu peningkatan insiden penculikan di wilayah Mali. Sebelumnya, 5 pekerja berkebangsaan India diculik pada Kamis (6/11) di dekat Kobrik, Mali barat.
Pada Minggu (9/11), JNIM mengaku bertanggung jawab atas penculikan 3 orang berkebangsaan Mesir dan meminta tebusan US$5 juta untuk membebaskan mereka.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Aplikasi Terkenal Kirim Hasil Mata-Mata ke China, Ini Daftarnya


















































