Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
26 December 2025 09:25
Jakarta, CNBC Indonesia- Harga perak kembali mencetak sejarah di penghujung 2025. Dalam sepekan terakhir, logam mulia ini bergerak sangat agresif dan menembus level tertinggi sepanjang masa, seiring kombinasi sentimen makro, geopolitik, dan lonjakan permintaan industri global.
Pada perdagangan Jumat (26/12/2025), harga perak spot (XAG) tercatat di US$73,33 per troy ons, naik tajam dari posisi US$67,13 pada 19 Desember. Artinya, dalam lima hari perdagangan terakhir saja, harga perak telah melonjak sekitar 9,2%, sebuah reli yang jarang terjadi untuk komoditas logam mulia.
Reli tersebut sebenarnya sudah dimulai sejak awal pekan. Dari level US$69,02 pada 22 Desember, harga perak terus merangkak naik ke US$71,42 pada 23 Desember, lalu berlanjut ke US$71,94 pada 24 Desember, sebelum akhirnya menembus area US$73 di akhir pekan. Kenaikan ini sekaligus mengonfirmasi bahwa perak kini benar-benar berada dalam fase euforia pasar.
Menurut Refinitiv, harga perak bahkan sempat menembus US$72,70 per ons pada Rabu (24/12/2025), dipicu oleh ekspektasi pemangkasan suku bunga AS dan meningkatnya permintaan safe haven di tengah ketegangan geopolitik.
Di saat yang sama, pasar mulai mem‐price in kemungkinan dua kali pemotongan suku bunga The Fed tahun depan, setelah munculnya sinyal pelemahan pada kepercayaan konsumen dan stagnasi produksi pabrik AS.
Ketegangan geopolitik juga mempertebal alasan investor masuk ke perak. Pasar bereaksi atas kebijakan Presiden AS Donald Trump yang memerintahkan pemblokadean kapal tanker minyak Venezuela yang terkena sanksi, yang ikut memicu lonjakan permintaan aset lindung nilai. Dalam kondisi seperti ini, perak tidak hanya dipandang sebagai logam industri, tetapi juga sebagai pelindung nilai.
Dari sisi kinerja tahunan, reli perak bahkan jauh lebih ekstrem. Sepanjang 2025, harga perak sudah melonjak sekitar 149%, didorong oleh defisit pasokan struktural, lonjakan permintaan industri, serta penetapannya sebagai mineral kritis di Amerika Serikat. Perak kini tidak lagi diperdagangkan semata sebagai logam mulia, tetapi juga sebagai komoditas strategis.
Berbeda dengan emas yang lebih murni sebagai safe haven, perak memiliki dua kaki sekaligus: aset lindung nilai dan bahan baku industri. Permintaan dari panel surya, kendaraan listrik, hingga pusat data terus menggerus pasokan global. Setiap proyek energi baru atau ekspansi AI mengunci perak secara permanen dalam sistem produksi, membuat stok semakin ketat. Inilah yang menjelaskan mengapa kenaikan bulanan perak bisa mendekati 40%.
Di sisi teknikal, struktur tren perak juga masih sangat kuat. Harga bergerak dalam ascending channel sejak awal Desember dari basis sekitar US$56, ditopang oleh rangkaian higher high dan higher low. Setelah sempat tertahan di bawah US$73,80, harga kini bertahan solid di atas zona US$70,20, yang menjadi area support penting. Indikator RSI memang mulai mendingin dari area 70 ke sekitar 60, namun itu lebih menunjukkan fase konsolidasi, bukan pembalikan arah.
Dari sisi pasar investasi, arus dana juga terus masuk. Analis Standard Chartered, Suki Cooper, mengungkapkan bahwa arus masuk produk perak yang diperdagangkan di bursa (ETP) telah melampaui 4.000 ton, menandakan besarnya minat institusional terhadap logam ini. Lonjakan ini menambah tekanan pada pasokan fisik yang memang sudah ketat.
Namun, tidak semua analis sepenuhnya optimistis tanpa catatan. Analis Mitsubishi mengingatkan bahwa meskipun momentum dan fundamental masih mendukung, posisi pasar yang terlalu padat dan likuiditas akhir tahun yang tipis bisa memicu volatilitas tajam. Dalam kondisi seperti ini, pola "buy on dips" lebih dominan, selama imbal hasil riil tetap rendah dan pasokan fisik masih ketat.
Sinyal peringatan juga datang dari rasio emas-perak. Saat ini, hanya dibutuhkan 64 ons perak untuk membeli satu ons emas, turun drastis dari 105 ons pada April. Menurut analis, kondisi ini menunjukkan bahwa perak sudah masuk area overbought. Analis StoneX, Rhona O'Connell, bahkan menilai bahwa ketika gejolak pasar mereda, perak berpotensi menjadi aset yang kinerjanya tertinggal dibanding emas.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)


















































