Suku Bunga Disunat 5 Kali, Mengapa Gagal Sembuhkan "Sakit" Properti?

2 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian Indonesia tumbuh 5,12% secara tahunan (YoY) pada kuartal II-2025.

Angka ini menegaskan resiliensi ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global. Namun, ironisnya, angin segar ini belum berembus kencang ke sektor properti yang masih terlihat berjuang di tengah berbagai tekanan.

Fenomena ini mengulang pola yang sama dari tahun-tahun sebelumnya: mesin ekonomi makro terus melaju, sementara mesin sektor properti justru tersendat. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi dan adakah harapan baru di depan mata?

Mesin Ekonomi Melaju Kencang

Pertumbuhan ekonomi 5,12% pada kuartal II- 2025 menjadi salah satu yang tertinggi di kawasan, didorong oleh konsumsi domestik yang kuat dan kinerja ekspor yang terjaga. Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) terus berupaya menjaga momentum ini sambil mengendalikan inflasi.

Kabar baiknya, tingkat inflasi menunjukkan tren pendinginan. Pada Agustus 2025, inflasi tahunan tercatat melandai ke level 2,31% (year on year/YoY), masih dalam rentang target sasaran Bank Indonesia. Hal ini memberikan ruang bagi BI untuk melonggarkan kebijakan moneternya.

Sebagai respons, dalam Rapat Dewan Gubernur September 2025, Bank Indonesia secara agresif memangkas suku bunga acuan (BI-Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 4,75%. Keputusan ini diharapkan dapat menjadi "vitamin" bagi sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga, termasuk properti.

BI sudah memangkas suku bunga lima kali tahun ini dengan besaran 125 bps.

Properti 'Gigit Jari' di Tengah Suku Bunga Rendah

Meskipun suku bunga acuan telah dipangkas lima kali sepanjang tahun, sektor properti tampaknya belum merasakan dampaknya secara signifikan. Data terbaru dari Bank Indonesia melukiskan gambaran yang suram.

Berdasarkan Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia, penjualan properti residensial di pasar primer pada kuartal II-2025 justru terkontraksi atau minus 3,80% (YoY). Angka ini berbanding terbalik dengan kuartal sebelumnya yang masih mampu tumbuh tipis 0,73% (YoY).

Penurunan penjualan terjadi di semua tipe rumah, dengan kontraksi paling dalam terjadi pada tipe menengah (-17,69% yoy) dan tipe besar (-14,95% YoY). Perlambatan juga tecermin dari sisi harga, di mana Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) pada kuartal II-2025 hanya tumbuh terbatas sebesar 0,90% (YoY).

Analisis: Suntikan Dana Rp200 Triliun, Katalis yang Ditunggu?

Di tengah kelesuan ini, muncul secercah harapan dari kebijakan fiskal pemerintah. Pada September 2025, pemerintah secara resmi menyuntikkan dana sebesar Rp200 triliun ke lima bank yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan likuiditas perbankan dan mendorong penyaluran kredit ke sektor riil.

Suntikan dana segar ini berpotensi menjadi katalis yang dibutuhkan sektor properti. Berikut analisanya:

  1. Likuiditas KPR Meningkat: Dengan dana yang melimpah, bank-bank Himbara, terutama BTN yang mendapatkan alokasi Rp25 triliun, memiliki kapasitas lebih besar untuk menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Ini bisa berarti proses pengajuan KPR yang lebih mudah dan cepat bagi calon pembeli.

  2. Potensi Suku Bunga KPR Lebih Kompetitif: Peningkatan likuiditas dan arahan pemerintah untuk menggerakkan ekonomi dapat memicu persaingan antar bank. Hal ini bisa mendorong bank untuk menawarkan suku bunga KPR yang lebih rendah dan menarik guna menyerap dana yang ada, menjembatani jeda antara penurunan BI-Rate dengan bunga kredit di pasar.

  3. Mendorong Kepercayaan Kelas Menengah: Bagi kelas menengah yang selama ini bersikap wait and see, kebijakan ini bisa menjadi sinyal positif. Kombinasi antara potensi penurunan cicilan KPR dan membaiknya sentimen ekonomi dapat meningkatkan kepercayaan mereka untuk akhirnya merealisasikan pembelian rumah.

Meskipun begitu, efektivitas kebijakan ini akan sangat bergantung pada implementasinya. Kecepatan bank dalam merespons dengan produk KPR yang atraktif dan kemauan untuk menyasar segmen kelas menengah akan menjadi kunci.

Jika berhasil, suntikan dana ini tidak hanya akan menghidupkan kembali sektor properti, tetapi juga memberikan efek domino ke lebih dari 170 industri turunannya, dan pada akhirnya, memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan.

Berikut data terkait pertumbuhan kredit KPR secara YoY setiap bulannya yang mengalami penurunan setiap kali data pertumbuhan KPR dipublikasikan.

Apa Kabar Saham Properti?

Berbagai saham properti mengalami penurunan yang signifikan secara YoY akibat dari menurunnya pertumbuhan kredit KPR oleh sektor perbankan sebagai penggerak ekonomi utama. Berikut ini ringkasan dan juga perubahan laba emiten sektor properti di pasar Indonesia.

Berikut juga pergerakan saham properti dari 30 Juni 2025

Berdasarkan data pergerakan saham dari 1 Juli 2024 hingga 23 September 2025, terlihat adanya divergensi kinerja yang signifikan di antara emiten-emiten properti utama di Bursa Efek Indonesia.

Secara keseluruhan, data ini menunjukkan bahwa sentimen di sektor properti bersifat sangat selektif. Investor cenderung memilih saham-saham berkapitalisasi besar dengan fundamental kuat, sementara emiten lainnya masih berjuang di zona negatif.

CTRA (Ciputra Development) menjadi jawara dengan pertumbuhan paling tinggi, mencapai 23,81%. Sementara BSDE (Bumi Serpong Damai) menyusul di posisi kedua dengan kenaikan impresif sebesar 22,34%

Kinerja CTRA dan BSDE jauh melampaui Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang dalam periode yang sama "hanya" tumbuh sebesar 13,08%. Ini menandakan adanya sentimen positif yang sangat kuat pada kedua saham tersebut. BEST (Bekasi Fajar Industrial Estate) mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 9,47%. Namun, angka ini masih berada di bawah kinerja IHSG, menunjukkan saham ini underperformterhadap pasar secara umum.

Tiga emiten properti lainnya masih berada di zona merah, menunjukkan tekanan jual yang signifikan selama periode tersebut.APLN (Agung Podomoro Land) terkoreksi 9,15%, DMAS (Puradelta Lestari) terkontraksi 15,93%, dan DILD (Intiland Development) menjadi yang paling dalam penurunannya sebesar 17,37%.

Grafik ini mengilustrasikan bahwa "demam" di sektor properti tidak merata. Investor sangat selektif dan cenderung mengalirkan dananya ke saham properti big caps yang dianggap lebih aman dan memiliki prospek yang lebih jelas, sementara saham properti lainnya masih belum berhasil menarik minat beli yang kuat.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(gls/gls)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |